Children Record I (Kaki yang Selemah Brokoli)



Children Record I 

Rekaman Anak-Anak I

 
Sebuah kasur dorong berjalan melaluiku hingga menimbulkan bunyi nyaring roda yang beradu dengan lantai serba putih. 
Aku sedikit terkejut karena sesaat kemudian aku baru menyadari jarakku yang terlampau dekat dengan kasur dorong itu. Tapi situasi yang sedang kuhadapi saat ini tidak mengizinkanku untuk mempedulikan hal seperti itu. Dan yang diangkut oleh kasur dorong itu mungkin adalah sesuatu yang paling berat dan sulit untuk kulihat jika aku diberi kesempatan untuk melakukannya.
Rumah sakit adalah tempat yang menyusahkan. Karena mereka harus menghadapi hal-hal semacam ini.
Karena mereka harus terbiasa dengan kehidupan yang disiplin dan harus tersiksa bayang-bayang kematian yang menurutku mengerikan. Inilah yang mau tidak mau harus selalu mereka hadapi setiap hari.
Sudah berapa lama waktu berlalu sejak saat itu?
Mungkin karena tiba-tiba disuruh berlari, kakiku yang ‘sedikit lebih keras dari brokoli’ ini mulai lemas dan gemetaran. Kurasa kakiku tidak akan berguna untuk sementara waktu.
Ya, tentu saja. Jika aku menggunakan kakiku di kehidupan sehari-hari, mereka hanya kugunakan untuk ke dapur atau ke kamar mandi. Menggunakan kaki seperti ini untuk pergi ke departemen store lalu ke taman bermain dan akhirnya tiba-tiba berlari sekuat tenaga. Seandainya pun orang lain yang melakukannya, hasilnya pasti akan sama saja.
Ngomong-ngomong, apa sih yang ada dipikiran Ene? Tidak, tunggu dulu. Aku tidak akan PERNAH mengerti apa yang dipikirkan Ene. Dan aku tidak akan pernah mau tahu apa yang ada dipikiran jahil nan jahat miliknya itu.
Tapi Ene sedikit membuatku khawatir hari ini. Waktu kami pulang dari taman bermain, dia tiba-tiba berkata, “Bisakah Master mengejar orang itu?!” dan membuatku mengejar ambulan. Dan akhirnya saat tiba di Rumah Sakit dia juga bilang, “Bisakah Master membiarkanku sendiri dengan orang ini sebentar?” dan meminta untuk memberikan HP-ku kepada orang yang SAMA SEKALI TIDAK KUKENAL. Lalu aku dibawa ke tempat yang tidak kuketahui. Ini benar-benar aneh.
Dan situasi saat ini adalah aku sedang berdiri di depan ruang pemeriksaan dengan bocah yang tidak kukenal berada di dalam sana. 
Yang bisa kulakukan hanyalah memikirkan berbagai macam hipotesis dan tidak bisa pergi kemana-mana. Hanya menunggu pengasuh bocah ini, yang sedang membawa Ene, untuk kembali.
Aku duduk dengan santai seolah semuanya akan baik-baik saja. Tapi semakin kupikirkan, aku semakin merasa keberadaanku disini sama sekali tidak dibutuhkan. Aku bahkan tidak tahu siapa bocah yang ada di dalam. Dan aku juga tidak mengharapkan sesuatu darinya. Aku hanya duduk menunggu.
Jika orang tua bocah itu bersamaku sekarang, pasti mereka bertanya, “Ada apa denganmu?” dan aku hanya akan memberikan senyum masam sambil berkata, “Tidak, tidak ada apa-apa....”
Aku merasa sudah cukup bersabar dengan semua ini. Aku sudah terbiasa dengan perilaku Ene yang selalu membuat kepalaku pusing. Tapi dia sudah sangat keterlaluan beberapa hari ini. Aku akan langsung pulang saja saat dia kembali dan menjalani kehidupan yang normal seperti biasa. Tapi, apakah Mekakushi Dan akan membiarkanku begitu saja?
Berbagai macam masalah terus saja berdatangan secara bersamaan. Hanya dengan memikirkanya saja sudah membuat kepalaku berdenyut-denyut.
“Ini benar-benar tidak masuk akal...”
"HAAA...." Aku menghela napas.
“Hal yang benar-benar tidak masuk akal terjadi di dekatku...sungguh....”
Tiba-tiba seseorang berkata tepat disampingku, seperti hendak mengikutiku yang menghela napas “Haa” kemudian dia melanjutkan dengan berbisik di dekatku. Aku terkejut sampai melompat dari kursi.
"Woahh! Wahhh!!! Kau! Sejak kapan kau ada disini?!"
Saat aku menoleh, pemuda berambut putih yang kupinjami Ene, duduk tepat disampingku. Dia mengangkat kepalanya dan memberiku ekspresi wajah yang sulit ditebak.
“Maaf.... Aku....”
Pemuda ini sepertinya berpikir aku sedang marah padanya dan menggunakan intonasi yang sangat lambat untuk minta maaf.
Tapi ekspresi wajahnya tidak berubah, membuatnya terlihat seperti orang bodoh namun sepertinya dia sudah tidak terlalu khawatir dibandingkan beberapa saat yang lalu.
Sedangkan aku yang masih dalam proses menerka-nerka "apa yang ingin dia sampaikan" hanya bisa diam, membuat suasana diantara kami menjadi sunyi untuk beberapa saat.
“Eh? Ah, tidak apa...Ini bukan salahmu. Ini salahnya.”
Pemuda itu melihat ke layar HP-ku yang dia pegang sejak tadi. Sosok bersurai biru yang familiar di mataku itu sepertinya sedang dalam mode cemberut dan merajuk, dia terus terbang kesana kemari di dalam layar.
“Ya? Ada sesuatu yang kamu inginkan, Master?”
Dia masih cemberut sambil terus mengapung di dalam layar. Dia bahkan tidak mau melihatku sama sekali.
“Ah, tidak. Aku hanya berpikir kapan kau mau kembali. Ngomong-ngomong, siapa orang ini? Apakah dia seseorang yang kau kenal?”
Aku telah dipermainkan kesana kemari sedangkan aku tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Jadi aku merasa tidak salah kalau menanyakan inti masalah dari semua ini.
Makanya aku bertanya kepada Ene. Tapi entah kenapa saat aku menanyainya, dia mengubah HP-ku menjadi mode getar dan menatapku dengan tajam.
Tatapan itu adalah sesuatu yang tidak pernah kulihat dari dirinya selain sikap jahilnya. Tapi entah kenapa aku merasa ekspresi itu pernah kulihat di suatu tempat.
Menanggapiku yang jadi agak takut dengan tatapannya, Ene cemberut lagi dan berkata, "Aku salah, aku tidak kenal orang ini. Maaf sudah membuat Master lari kesana kemari, ayo pulang."
Ene terdengar seperti marah-marah saat dia mengatakannya. Wajah pemuda berambut putih itu kembali menjadi suram, seperti dia berpikir kalau ini adalah salahnya untuk yang kesekian kali.
“Hei, kau...Tidak masalah kalau kau bilang salah mengenali orang, tapi kau menghentikan seseorang saat kerabatnya dalam keadaan darurat. Kau tidak merasa bersalah untuk itu?"
“Itu karena...itu karena...aaaAAAHHH~~ MASTER MENYEBALKAN!!! Aku sudah bilang kalau aku salah, kan?! Pantas saja Master tidak populer, hah!!"
Ene berteriak, pemuda berambut putih itu jadi agak takut tapi dia hanya terlonjak sedikit tanpa ada perubahan ekspresi yang berarti.
Dia itu terkejut atau apa? Sikapnya yang kaku itu seperti robot saja.
“Itu...maaf. Aku sepertinya membuatnya marah. Kupikir.”
Pemuda berambut putih itu melihat ke arah kami dengan wajah tanpa ekspresi. Sambil berkata dengan intonasi yang kurasa seperti minta maaf.
“Dia menangis...sambil berkata...‘Aku merindukanmu’...dan...‘Kupikir kamu telah mati’, ...tapi aku tidak...mengerti...sama sekali.... Kurasa...dia salah...orang...”
Tidak terasa sudah 20 detik berlalu sejak dia berbicara sampai akhirnya berhenti. Entah karena aku terbiasa dengan Ene yang bicara dengan cepat ataukah karena intonasi orang ini yang sangat lambat sampai-sampai aku merasa waktu ikut melambat.
Begitu toh. Mungkin karena pemuda ini mirip dengan temannya Ene.
Memang sih orang ini memiliki aura yang aneh. Jika dia benar-benar temannya Ene, aku bisa menoleransinya.
Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah HP-ku yang tidak berhenti bergetar sejak pemuda ini berhenti berbicara.
Dengan agak takut aku melihat ke layar. Di sana ada Ene yang tidak berwarna biru murni seperi biasanya, tapi bertelinga sangat merah dan tidak berhenti bergetar.
“Kau, kau kena-“
"UWAHHHH!!! UWAHHHH!! BERISIK!!! TIDAK ADA APA-APA!!! JANGAN BICARA LAGI!!!!!!"
Suasana hening untuk sesaat. Aku bisa melihat bahu pemuda itu bergetar lagi saat Ene berteriak, tapi ekspresinya tetap tidak menunjukkan tanda perubahan
Bahkan aku yang sudah biasa dengan gaya bicara Ene ikut terdiam. Ini pertama kalinya aku melihat Ene besikap sampai seperti ini.
Di layar, Ene terlihat sedang duduk seraya menendang-nendang kakinya ke segala arah. Namun tiba-tiba dia berdiri seakan menyadari sesuatu lalu tiba-tiba tersenyum padaku—membuatku mengeluarkan keringat dingin.
“...Kumohon, Master?”
Aku tidak tahu apakah dia hanya ingin mengalihkan perhatianku dari perilaku salah tingkahnya beberapa saat yang lalu atau dia hanya mencoba bersikap seperti biasanya. Angin kesunyian kembali menimbulkan suasana hening.
Tidak senang dengan responku, wajah Ene kembali memerah.
"Kau eror?" tanyaku sambil mengetok layar HP. Dia bergetar seolah ingin menunjukkan seberapa bencinya dia dengan apa yang kulakukan barusan.
“Memangnya Master pikir aku ini apa?? Ini bukan seperti apa yang Master pikirkan!!!”
Ene berteriak dengan nyaring seperti orang gila. Sepertinya dia sehat-sehat saja. Tidak ada virus, mungkin karena demam dia jadi bersikap aneh. Tunggu, Ene kan tidak bisa demam.
Meskipun dia biasanya aneh, kali ini dia sudah kelewat aneh dari biasanya.
“Ti-tidak salah kan kalau sesekali kita salah mengenali orang!!! Itu karena dia mirip dengan teman lamaku dulu. Jadi...itu, apa karena aku mengatakan sesuatu yang aneh, atau aku teringat sesuatu? Tunggu... apakah karena aku tidak sengaja menunggu-nunggunya?” 
“Tidak, aku tidak mengerti sedikit pun apa yang kau katakan. Jadi singkatnya adalah karena dia seperti teman lamamu, kau jadi emosional kan?”
Saat aku menyelesesaikannya, Ene yang tadinya mengatakan hal-hal tidak jelas dengan gugup tiba-tiba terdiam, ekspresinya bercampur antara tercengang dan terkejut. Membuatku menjadi semakin kebingungan.
“Ah~ Aku mengerti sekarang kenapa Master tidak populer. Kalau begini terus Master akan jadi perawan selamanya. Sayang sekali.” kata Ene dengan nada monoton yang seperti menyindir.
"Ehhh?!! Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?!! Dan juga kenapa aku jadi tidak populer!! BERITAU AKU!!"
“Ah, tolong jangan berbicara denganku untuk sementara waktu, Master yang menyedihkan.”
“HEI, AKU DENGAR KAU MENGATAKAN ‘MENYEDIHKAN’, KAN?!! Biarpun kau mengatakannya dengan pelan tapi aku masih bisa mendengarnya, lho!!”
“Master berisik sekali!! Singkatnya, bahkan aku pun mempunyai sesuatu yang tidak bisa kuberitahukan kepada Master.”
Saat Ene mencibir dan ingin mengatakan sesuatu lagi, suara nyaring terdengar sampai ke ruang pemeriksaan, dimana bocah yang tadinya dipeluk dengan erat oleh pemuda berambut putih itu berada.
Tidak lama kemudian, terdengar suara besi berjatuhan.
"…?! Master! Ini gawat!"
"Aku tahu!"
Melewati koridor, aku bergegas membuka pintu ruang pemeriksaan. Bocah yang di dalamnya terjatuh di lantai.
Rambut coklatnya berantakan dan dia memakai rompi putih. Kulihat dari belakang dia sepertinya sekitar 10 tahunan. Anak lelaki itu berusaha merangkak dan melakukan apapun untuk membuat kakinya berdiri dengan thermometer dan peralatan medis berhamburan di sekelilingnya, namun usahanya gagal.
“Hei, hei! Apa yang kau lakukan!? Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kau harus berbaring dulu!”
Aku berlutut disamping bocah itu dan mengulurkan tangan. Tapi dia menepis tanganku dengan refleks karena rasa takut.
Saat pertama kali aku bertemu dengannya, butiran air mata membasahi wajahnya. Namun dibalik semua itu, aku bisa merasakan sebuah kebencian terhadap apapun itu yang telah membuatnya menderita—dirinya seakan dipenuhi oleh atmosfer yang berat dan gelap.
“Siapa kau...? Jangan...hentikan aku!”
Anak lelaki itu berdiri dan badannya terhuyung-huyung, tapi dengan cepat dia menstabilkan gerakannya dan berjalan ke pintu keluar sendirian.
“Hiyori.... Aku harus ke tempat Hiyori....” 
Anak lelaki itu berbisik seperti sedang menghayal dan berjalan keluar dari ruangan tanpa mendengarkan satu pun nasehatku.
Aku mengejarnya dengan cepat. Sesaat setelah anak lelaki itu keluar dari ruangan, dia berhadapan dengan pemuda berambut putih itu.
“Ini semua salahmu... Semua ini tidak akan terjadi kalau kau tidak ada.”
Anak lelaki itu menatap si pemuda berambut putih dengan sangat tajam dan air matanya kembali berhamburan keluar.
Sampai akhir pemuda berambut putih itu tetap tidak berkata apa-apa. Raut wajahnya seperti menggambarkan kebingungan yang amat sangat, tapi dia hanya berdiri saja dan tidak mengatakan apa-apa.
“Cukup.... Aku harus pergi...harus pergi....”
Sesaat setelah dia menyelesaikan perkataannya, anak lelaki itu dengan cepat mengubah arah badannya dan berlari. Sudah terlambat, dia telah berlari melewati koridor rumah sakit yang gelap kemudian menghilang dalam kegelapan.
“Apa yang kamu lakukan Master?! Jika kamu tidak mengejarnya, dia bakal kena masalah!”
"Oh oh. Aku tahu. Ah, tapi kakiku tidak bisa bergerak lagi…."
Benar juga. Pada saat genting tadi, kakiku 'yang sedikit lebih kuat dari brokoli’ tidak memerlukan waktu yang lama untuk gemetaran karena lelah. Sangat menyedihkan.
"BAAAAHHH!!! DASAR! MEMANGNYA MASTER ANAK RUSA APA?!! Kenapa Master sangat tidak berguna disaat-saat genting seperti ini?!"
"Be-berisik!! Jujur ini semua juga salahmu!! JANGAN MENCELA TUBUH KURUSKU!!!"
Disaat kami berdua sedang memperdebatkan hal yang tidak penting, anak lelaki itu sudah pergi jauh.
Dihitung dari kecepatannya berlari, kurasa dia bisa meninggalkan area rumah sakit hanya dalam beberapa menit. Jika benar begitu, kami akan benar-benar kehilangan jejaknya.
“Panggil suster...tapi sepertinya sudah terlambat. Hei, bisakah kau lakukan sesuatu?! Biarpun dia sepertinya membencimu tapi dia masih kenalanmu, kan?!! Jika ini terus dibiarkan, kita tidak akan tahu dimana dia berada!!”
Mendengar pertanyaanku, pemuda berambut putih itu mengangguk dengan raut wajah yang sepertinya masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Dia berbicara sedikit lebih cepat tapi masih dengan intonasi yang lambat dan stabil.
“Hibiya...sepertinya...marah...karena...aku.... Aku...harus...melakukan...sesuatu...bi...bisakah kau...ikut denganku...?”
Ritme bicaranya agak berantakan, tapi sepertinya Hibiya adalah nama dari anak lelaki yang baru saja kabur. Orang ini sepertinya merasa kalau dirinya memiliki salah meski dia sendiri tidak tahu apa itu. Setelah berkata “ikut denganku”, wajah datar orang ini agak berubah. Meski hanya sedikit, tersirat semangat di dalam manik merahnya.
“Ah.. maaf, maaf. Bukannya aku tidak ingin ikut denganmu. Hanya saja sekarang kakiku tidak bisa digerakkan....”
"Kenapa Master langsung mudah menyerah seperti itu? Master hanya malas karena tidak pernah olahraga kan?"
"Terserah kau mau bilang apa, yang jelas sekarang aku benar-benar tidak bisa lari...eh?"
Seperti hendak memotong pembicaraanku, tahu-tahu pemuda berambut putih itu muncul di depanku. Dalam sekejab tubuhku langsung merasakan bagaimana rasanya melawan tekanan gravitasi yang tidak pernah kualami sebelumnya.
"Woah! WOOAAAHHH?!!"
Seolah aku ini seorang bayi, pemuda itu dengan santai mengangkat dan menyampirkanku dipundaknya layaknya mengangkut sebuah barang.
“Maaf, ini akan sedikit sakit....”
Setelah dia mengatakannya dengan pelan, bersamaan dengan suara yang mirip seperti ledakan, pemandangan koridor bergerak menjauh ke belakang dengan kecepatan tinggi.
Saat kami sampai di tangga yang menghubungkan lantai ini dengan lantai berikutnya, dia setengah berjongkok dan mengambil posisi kuda-kuda sebelum kemudian melompat setinggi beberapa meter. Butuh waktu sekitar 1,5 detik bagiku untuk bisa mencerna apa yang sedang terjadi.
"GYAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Aku sebenarnya tidak ingin mengeluarkan suara untuk sementara waktu. Tapi setelah mengetahui apa yang barusan terjadi, aku secara refleks meneriakkan seluruh suaraku yang masih tersisa.
“Tu-tu-tu-tu-turunkan aku....OHOK!!”
Aku berusaha keras mengatakan sesuatu, tapi terpotong oleh suara benturan yang ditimbulkan saat dia mendarat. Sepoi-sepoi angin yang bertiup seolah mewakili suaraku yang saat ini tercekat ditenggorokan.
“Ma-maaf. Kumohon tunggu sebentar lagi.”
Selanjutnya, bukan gerakan lari super cepat seperti saat melewati koridor. Tanah tiba-tiba saja terasa jauh dan begitu aku sadar ternyata dia melakukan sebuah lompatan yang sangat tinggi, sungguh aku merasa hampir diambang batas kesadaran.
Namun aku berusaha menahan hasrat ingin pingsan itu dengan melihat ke HP yang kugenggam dengan erat. Kulihat Ene memakai sesuatu yang mirip dengan bantal untuk menutupi kepala serta memejamkan matanya, seolah sedang berusaha menetralisir efek benturan yang akan terjadi selanjutnya.
"SIAPAPUN TOLONG AKUUUUUUUUUUU!!!!!"
Bersamaan dengan keluarnya suaraku, kami—atau lebih tepatnya dia, melompat ke angkasa bagaikan membelah udara yang dingin. Atap rumah sakit serta jendela yang kami gunakan untuk melompat mulai terlihat seperti miniatur di mataku.
Inikah rasanya skydiving? Tidak, lebih tepatnya ini mirip dengan rasa takutku terhadap rollercoaster yang kunaiki tadi.
Aku mendapat firasat bahwa pada saat mendarat di tanah nanti, kondisiku tidak akan jauh beda seperti setelah menaiki rollercoaster.
“Ketemu...” bisik pemuda itu. Mungkin untuk mengurangi benturan saat mendarat, dia melepaskanku dari pundaknya dan membawaku pada celah diantara lengannya.
Belum sempat aku mengumpulkan kesadaran yang sempat berkelana entah kemana, sekarang tanah seolah mendekat dengan kecepatan tinggi.
Otakku terus mengumandangkan 'Demi Momo yang langsing mendadak, demi Kido yang memakai rok. Aku tidak mau mati muda!' dan tidak lupa berdoa pada Tuhan. Lalu seperti Ene tadi, aku memejamkan mata dengan erat.
DUAK!!’ suara nyaring kembali terdengar untuk yang kesekian kali sebagai akibat dari kembali bekerjanya gravitasi pada kami. Benturannya lebih ringan daripada yang kuperkirakan tapi cukup untuk membuat isi perutku serasa dicampur-aduk. Setelah efek dari benturan dasyat yang menyerangku tadi hilang, pemuda itu dengan penuh kekhawatiran bertanya, "Kau tidak apa-apa?"
"UhhaaaAAA!!!"
Nafas lega yang kukeluarkan saat masih berada dipelukannya seolah menjawab pertanyaannya tadi.
"U…. uuuooo……"
Dan seperti biasa aku muntah. Sial.
"Kyaaaa!!! Menjijikkan! Jangan dekati aku!!!"
"Haaa…. Haaa…. Dasar. Harusnya kau lebih memikirkan kondisiku, Ene."
“Maaf, tapi aku harus bergegas. Maaf membuatmu terkejut....”
Menggendong seorang lelaki dewasa dan melompat dengan ketinggian serta kecepatan yang luar biasa, kira-kira seberapa banyak orang seperti itu yang bisa kita temukan di dunia ini.
Aku melepaskan diri dari pegangan pemuda itu dan berdiri, terhuyung-huyung sambil mencoba melihat wajahnya. Aku menyadari mata dari pemuda tanpa ekspresi ini bercahaya warna merah terang.
“Matamu....kau memiliki kemampuan juga, kah? Apa sih yang terjadi sebenarnya?”
Aku sudah menduga kemungkinan ini. Dari warna mata dan tingkahnya yang aneh, sepertinya dia juga orang yang memiliki kemampuan sama seperti Momo dan para Mekakushi Dan.
Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini karena Momo dan Ene. Tapi bertemu dengan banyak orang aneh seperti ini dalam sehari adalah sesuatu yang tidak biasa.
Omong-omong, ada apa sih dengan mata itu? Kurasa lebih baik aku tidak menyelidikinya lebih jauh hanya karena rasa penasaran....
“Kau itu sebenarnya apa?”
“Master!! Anak itu sudah keluar dari Rumah Sakit!!”
Aku berhenti berpikir dan melihat ke arah yang ditunjukkan Ene. Di sepanjang jalan depan pintu rumah sakit, terlihat seorang anak lelaki sedang berlari.
Dan anak itu sangat dekat dengan pintu keluar area rumah sakit.
“Hibiya! Kita akan kehilangannya jika terus begini!!” Pemuda itu berkata dan memegang tanganku seperti ingin membawaku lagi.
“GAHH! TIDAK, TIDAK!! AKU TIDAK BISA LAGI!! Kumohon LEPASKAN AKU!!!”
“Ma-maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Saat aku menolaknya, pemuda itu bergetar dan melepaskan tanganku. Biarpun aku bisa menghindari kemungkinan terjadinya pertunjukan 'paduan suara' untuk yang kesekian kali, anak itu terus berlari ke jalan besar. Akan menyusahkan kalau dia berhasil kabur.
“Tidak...aku tidak...bisa. Aku takut...melakukannya...sendirian...jadi aku...tidak bisa....”
Pemuda yang melakukan hal yang tidak bisa dibayangkan selain sikapnya yang pendiam itu menundukkan kepalanya dengan lemah.
Dan sekali lagi aku melihat ke arah anak lelaki yang berlari ke arah pintu keluar. Biarpun aku ingin mengejarnya, kakiku sama sekali tidak bisa bergerak.
Saat ingin menyerah, aku tiba-tiba mendapatkan sebuah ‘ide’. Aku bergegas berbicara kepada Ene.
“Hei Ene! Telpon Momo!!”
“Eh? Telpon imouto-san?....Ah! Begitu yah!! Siap!!”
Seperti mengerti apa yang sedang kupikirkan, Ene menepukkan kedua tangannya dan dengan tangan kanannya yang menggambarkan silang, layarnya langsung berubah menjadi mode telpon untuk menelpon Momo.
Setelah sekitar 2,5 detik kemudian, layarnya menunjukkan tanda hijau besar yang tertulis ‘MEMANGGIL’.
“Ah~ Heiii, onii-chan? Apakah onii-chan sudah selesai dengan urusan Ene-chan~?"
“Sudah selesai, tapi ada hal yang lain yang harus dilakukan. Momo, kau dimana sekarang?" 
"Ehh? Uhmmm~ Sebentar...Dimana kita sekarang danchou-san? Ah, terima kasih. Ah, onii-chan? Kami sekarang ada di depan rumah sakit. Di bawah pohon di samp- Areee! Ada apa dengan anak itu? Larinya cepat banget.”
 
“Hei! Hentikan anak yang lari itu sekarang juga! Kumohon!”
"EHHH? KENAPAA??!!"
"INI PENTING!! KUMOHOOON!!!"
"PENTING?! Uhm~ OKE! Aku ngerti! Akan kucoba!!"
Ketika Momo memutus telponnya, muncul tanda ‘AKHIR DARI PANGGILAN’ di layar HP-ku.
"Apakah imouto-san akan baik-baik saja?"
"Dia mungkin sedikit bodoh tapi disaat seperti ini bisa diandalkan."
"Yah...agak bodoh sih."
Ketika kuperhatikan lagi, anak lelaki itu hampir mendekati pintu keluar.
Saat dia hampir melewati pintu keluar, anak lelaki itu terpental seperti tertabrak sesuatu.
Tiba-tiba Momo muncul entah dari mana, anak lelaki itu terkejut dan tetap bertahan pada keinginannya, tapi dia didorong keras oleh Momo sampai-sampai dia tidak bisa bergerak sama sekali.
"Woahhhh!!! Kerja bagus imouto-san!! Ah~ ah~ tapi dia memeluknya erat sekali…."
"Dia sepertinya sudah jadi bantal yang bagus. Oke, baguslah sekarang kita tidak perlu mengejarnya."
"Yang lamban satu-satunya hanya kamu saja, Master."
Menghiraukan Ene, aku mempercepat langkah kakiku. Saat aku hampir mencapai pintu keluar, Momo disitu memeluk erat anak lelaki yang meronta-ronta, yang hampir mati lemas.
"Ah, onii-chan! Apa sih yang terjadi? Ow, sakit! Kamu jangan bergerak dulu…."
"Maaf, Momo. Hei, kau yang disitu! Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi paling tidak bisakah kau tenang dulu? Kalau kau tiba-tiba menghilang dari rumah sakit akan membuat semua orang khawatir tahu!!"
"Eeehhh!? Anak ini pasien!?"
Momo mengurangi tenaga di tangannya karena terkejut, anak lelaki itu lalu lepas dari tangan Momo. Wajah anak lelaki itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang, menghembuskannya lagi bersamaan dia melototi Momo.
“Apa yang kau lakukan bibi gendut! Jangan tiba-tiba melompat dari suatu tempat dan menghalangiku!!”
"H- HUHHH??!! Bi-bi-bibi gendut? SIAPA YANG KAMU BILANG TADIII??!!!!"
"Yang kubilang itu kau, bibi gendut raksasa!! Aku sedang buru-buru…."
Anak lelaki itu kembali ingin berlari, tetapi Momo yang lebih cepat darinya memegang tudung anak lelaki itu dan menarik balik badannya.
“Hei, hei kamu...kamu itu pasien, kan?!! Tentu saja kabur bukan hal yang benar!! A-apa-apaan d-dengan gen-gendut itu....”
Mungkin perkataan anak itu tadi terlalu keras untuk Momo, badannya mulai bergetar dan napasnya tidak beraturan.
Anak lelaki itu kembali melotot pada Momo dan mengambil kembali tudungnya yang dipegang dan berteriak kepada Momo lagi.
“Sudah kubilang!! Jangan hentikan aku!!! Dan aku sudah pasti bukan pasien disini karena tidak ada masalah denganku!! Tapi untukmu bibi, mungkin kau harus mengecek badanmu yang seperti sapi itu ke dokter!! Itu pasti penyakit.”
Anak lelaki itu sepertinya mengarahkan tangannya ke dada Momo. Ene yang ada di HP-ku tertawa “Puuupuu…. Ah, maaf" kemudian suara yang agak serak terdengar dari Momo.
"Seseorang sedang mengkhawatirkanmu. Tapi kamu!!! KAMU…….!"
Dia hampir menangis saat diejek oleh anak lelaki itu. Saat Momo yang berwajah merah ingin menyerang dan menangkap anak lelaki itu, tudung Momo ditarik oleh sesuatu yang tidak terlihat, menghentikannya menyerang.
“Le, lepaskan aku danchou-san! ANAK INI MUSUH KITA! YA, MUSUH KITA!!! PANGGILAN DARURAT UNTUK MEKAKUSHI DAN!! Le~ pas~ kan~ a~ ku~ ARGHH~~ ……!!!!!!!!"
Dikarenakan Momo yang meronta-ronta seperti sapi gila, ditambah dengan apa yang anak lelaki itu tadi katakan, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tertawa. Dan sepertinya Momo mendengar itu dan melototiku dengan tajam.
“Apa yang kamu tertawakan baka-ani!? Ada apa sih dengan anak itu?! Kenapa aku tiba-tiba dikatai seperti tadi?!”
“Ah~ Aku tahu Aku tahu. Maaf. Oke, tenanglah dulu. Hei, namamu Hibiya, kan? Kenapa kau tergesa-gesa? Bisakah kau pergi nanti?”
Mendengar apa yang kukatakan, Hibiya tidak mencoba untuk lari tapi tanpa menutupi kekesalannya padaku dia melihat ke arahku.
“...Ada perempuan yang sangat penting bagiku. Mungkin dia sudah mati. Hanya aku saja yang selamat. Jadi aku harus menyelamatkan dia juga.”
Bahkan Momo yang berisik dari tadi langsung menghentikan gerakannya dan membuka mulutnya karena terkejut.
“Tu, tunggu dulu. Mati maksudmu? Kalian terlibat pada suatu inisiden? Kalau begitu akan lebih baik jika kamu membicarakannya dulu ke dokter atau polisi dulu. Kenapa kamu malah mau pergi sendirian?"
Sebelum aku berlari ke rumah sakit, tempat dimana Hibiya pingsan tidak ada tanda kecelakaan mobil sama sekali. Badannya juga tidak terlihat terluka. Dari sudut pandang orang yang melihat, dia hanya pingsan karena kepanasan.
Itulah yang kupikirkan.

Tapi dari apa yang dikatakan Hibiya, itu bukanlah kejadian biasa dimana dia bisa terlibat begitu saja. Jika begitu, dia seharusnya melaporkannya dulu pada polisi.
 
“Biarpun aku mengatakannya, tidak akan ada yang percaya. Oh ya. Kalau kalian tidak percaya, tanya saja pada orang itu. Selama itu dia hanya berdiri dan melihat saja.”
Hibiya mengarahkan tangannya ke arah pemuda berambut putih. Pemuda itu langsung terlihat gelisah dan memegang bajunya dengan erat.
“Hei, kau selalu melihatnya bukan? Kalau kau tidak melakukan apa-apa, paling tidak bisakah kau menjelaskannya pada mereka?”
“Tidak...itu...tidak...benar....Aku...juga...ingin...menyelamatkannya...tapi..tapi...Aku tidak bisa.....!”
Bersamaan pemuda itu berbicara, Hibiya menggertakkan giginya dan menatap tajam pemuda itu.
Hibiya menghela napas dan sekali lagi dia terlihat seperti ingin pergi ke pintu keluar.
"…..Baiklah. Kalau kau tidak bisa melakukan apa-apa, biarkan aku pergi sendiri. Jangan hentikan…aku….."
Saat Hibiya ingin melangkah maju, badannya tiba-tiba terhuyung dan miring. Diapun langsung terjatuh ke lantai dengan lemas.
"O, oi!"
Aku bergegas ingin menangkap anak lelaki itu tapi jaraknya terlalu jauh. Bahkan pemuda yang sedari tadi melakukan hal yang mengejutkan itu, yang terlihat sedih dengan kata-kata Hibiya tadi, reaksinya lebih lambat dariku.
Anak lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan tanda akan melakukan sesuatu untuk menahan tubuhnya yang akan jatuh, sepertinya dia akan jatuh begitu saja.
“Sial....!”
Saat kupikir ini sudah terlambat, badan Hibiya tiba-tiba seperti ditahan oleh sesuatu yang tak terlihat dan berhenti di tengah-tengah udara.
Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi, tapi setelah melihat Momo yang kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke tanah, aku mulai mengerti.
"Shintaro, anak ini…. Lebih baik jika tidak kita bawa kembali ke rumah sakit."
Udara di sekitar Hibiya bergetar dan tergoyang. Pada waktu yang sama Kido yang memakai parka ungunya dengan tudung menutupi kepalanya muncul.
Di balik tudungnya yang menutupi rambut panjangnya, wajah Kido menunjukkan ekspresi campur aduk antara terkejut dan gelisah.
“Tangkapan yang bagus.... Heiii, apa yang kau maksud tadi? Sudah jelas kondisi anak ini memburuk, kan? Yah, memang sepertinya situasi sekarang agak buruk, tetapi bukankah memang lebih baik jika menyerahkannya pada dokter atau polisi, kan?”
“...tidak. Kurasa dokter ataupun polisi tidak akan banyak berguna. Sedangkan melihat anak ini sekarang, kurasa hanya kita yang bisa menolongnya.”
Melihat Hibiya yang ada ditangannya, Kido berkata dengan ekspresi seperti telah menelan sesuatu yang pahit.
'Apalagi sekarang?' pikirku seraya berjalan ke samping Kido dan melihat ke wajah anak itu. Di matanya yang agak terbuka, terlihat warna merah yang sedikit demi sedikit muncul, bercampur dengan warna asli matanya.
"Oi, ini…."
"Ah, aku sudah dengar hampir semuanya. Hanya saja situasi sekarang jadi sedikit merepotkan."
Kido berkata seolah dia teringat akan sesuatu yang buruk.
Perubahan warna mata anak ini sudah pasti adalah karakteristrik ‘suatu kemampuan’ yang dimiliki Kido dan yang lain.
Mungkin apa yang Kido katakan tentang ‘dokter atau polisi tidak akan berguna’ adalah karena hal ini. Memang kalau menghadapi situasi yang tidak biasa seperti ini, kedua pihak hanya bisa angkat tangan saja.
“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah anak ini tidak apa-apa?”
“Saat ini kita masih belum mengetahui kekuatan anak ini. Jika kita membawanya kembali, mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi. Lebih baik kita bawa ke markas untuk sementara.”
Tangan Kido menahan pinggang Hibiya dengan erat, dan memeluknya dengan kepala Hibiya di pundaknya.
“Baiklah, Kisaragi. Beritahu Kano untuk mengosongkan ranjangnya. Ah, dan jika Mary takut akan menjadi repot. Tolong beritahu Mary untuk tinggal di dalam kamarnya bersama Seto,” kata Kido pada Momo.
Momo yang terduduk di tanah langsung berdiri dan hormat, “O, oke! Siap!” 
"Hahaha…. Kau terlalu kaku."
Kido memperlihatkan ekspresi bingung dan senyuman langka. Matanya memang selalu melotot dengan tajam. Tapi saat dia tersenyum, senyumannya sangat hangat. Dan sikap keibuannya juga terlihat.
"Oh, iya. Siapa namamu?"
Sambil memeluk Hibiya, Kido terlihat sedang memikirkan sesuatu dan melihat ke arah pemuda berambut putih itu.
"A-aku? …. Konoha.... Namaku..... Kurasa."
Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu, tapi seperti biasanya orang ini menggunakan intonasi yang sangat lambat dan berantakan untuk memperkenalkan dirinya.
Saat orang ini mengatakan namanya, HP-ku yang kupegang bergetar lagi. Dan saat aku melihatnya Ene kembali memperlihatkan wajah marah dan menghentak-hentakkan kakinya.
“Begitu ya, Konoha. Menurut apa yang kudengar dari anak ini tentang ‘insiden’ yang terjadi diantara kalian berdua... Mungkin aku bisa membantu. Ngomong-ngomong, kami akan mengurus anak ini sampai dia kembali stabil. Jadi, apakah kau akan kembali atau kau akan ikut dengan kami?”
Bersamaan Kido mengatakan itu, Konoha memperlihatkan wajah paling serius yang pernah kulihat dari dirinya dan mengganggukkan kepalanya.
“Iya, huh. Baiklah, ayo.... Tapi aku agak lapar sekarang. Apakah aku biarkan Kano saja yang memasak makan malam....Hei, Kisaragi. Apakah kau sudah menelpon Kano?”
“Tidak, aku tidak bisa menghubungi Kano-san. Jadi sekarang aku sedang mencoba menghubungi Seto-san...AH! Halo, ini Momo!”
Kurasa Seto mengangkat telponnya. Biarpun dia tidak bisa melihat orang yang berada di sisi lainnya, Momo berdiri tegak dan bicara.
“Maaf, ada masalah yang terjadi disini. Akan ada pasien yang dikirim ke markas, jadi dachou-san bilang minta Kano-san untuk mengosongkan sebuah ranjang untuk....eh? Dia tidak ada di markas? Uhm...Oke aku mengerti! Ah, selain itu yang menyiapkan makan malam...dan juga tolong tinggal bersama Mary-chan di dalam kamar! Ya, sudah. Dadah!”
Pada bagian terakhir aku merasa tempo suaranya lebih cepat. Apakah dia sudah menyampaikan informasi pada Seto dengan baik?
Setelah memutus sambungannya, Momo menghembuskan napas lega seperti telah berhasil menyelesaikan sebuah misi.
“Maaf menyusahkanmu, Kisaragi. Apakah Kano pergi ke suatu tempat?”
“Ah, iya. Dia sepertinya meninggalkan pesan ‘Aku tidak akan kembali malam ini’ dan pergi begitu saja.”
“Haa...orang itu benar-benar tidak berguna disaat seperti ini.”
Mengingat Ene pernah mengatakan hal yang sama, aku jadi merasa kasihan padanya.
Kalau kupikir-pikir, kira-kira apa ya yang dilakukan Kano jika sedang keluar pada saat seperti ini. Biarpun dia memiliki sifat seperti suka menyendiri, dia mungkin punya banyak teman. Jadi mungkin saja dia pergi bersama temannya. Sial. Padahal dia lebih muda daripada aku.
“Ayo kita pergi. Dari sini ke markas memang tidak terlalu jauh, tapi kita harus bergegas.”
Mata Kido kembali bercahaya merah. Kurasa dia menggunakannya mengingat disitu ada Momo yang memiliki kemampuan mata untuk menarik perhatian, yah meski dia sudah cukup mencolok tanpa menggunakan kekuatannya sekalipun. 
Aku masih tidak begitu paham. Dengan kemampuannya untuk menyembunyikan keberadaan kami dari orang lain, sedikit tidak mudah dipercaya kalau kemampuan itu benar-benar ada.
"Um, Master."
Setelah kejadian di pintu keluar, semuanya berjalan mengikuti Kido. Tiba-tiba HP-ku bergetar lebih pelan dari biasanya.
“Ah? Ada apa?”
Melihat ke layar, Ene terlihat berbeda dari biasanya. Dia berdiri dan membuat ekspresi yang suram seakan sedang memikirkan sesuatu.
“Uhm...itu, bukannya lebih baik jika kita pulang ke rumah lebih cepat bersama imouto-san. Aku merasa sedikit khawatir. Seperti akan ada sesuatu yang buruk terjadi.”
Jarang sekali mendengar Ene berkata pesimis seperti ini. Dia dengan canggung menarik-narik ujung bajunya.
“Haa? Kalau boleh dibilang ini semua kan sebenarnya salahmu. Tapi aku juga ingin pulang ke rumah sih....”
“Ka-kalau begitu!”
"Mm~hmm. Aku agak khawatir dengan anak itu dan Momo juga sepertinya masih belum mau pulang. Lalu kupikir danchou juga tidak akan memperbolehkanku pulang dengan mudah.”
“Be, begitu, ya....”
Ene terlihat pasrah dan muram. Saat aku mencoba menebak apa yang sebenarnya ingin dia katakan, aku sadar akan sesuatu.
“Ah, jangan bilang kau....”
"Eh, eh, eh??!! Tidak! Tentu saja tidaaaak!! Ene masih Ene, oke?! Ene bukan seperti apa yang Master pikirkan! Master, kamu benar-benar jahat…."
"Kau khawatir kalau akan kehabisan baterai, kan?"
"………Hah?"
Ene dari tadi terus mengatakan hal yang tidak jelas, tapi saat aku menanyakan itu padanya dia hanya menganga dan tercengang.
Dan tiba-tiba dia tersenyum dengan kaku dan mengayunkan tangannya dengan panik pula.
"....Ah, ah~ ngisi baterai. Iya memang itu, kok~! Sekali baterainya berkurang aku jadi lelah, menyebalkan deh!"
"Sudah kuduga! Hei, aku akan meng-charge-mu saat kita sampai di markas. Bersemangatlah, oke?"
Jadi masalahnya adalah isi baterai, ya. Mungkin karena dia menghabiskan banyak energi baterai di taman bermain, layarnya menunjukkan sisa baterai yang telah berkurang banyak.
Aku tidak tahu kondisi seperti apa yang membuatnya bisa aktif disitu, tapi jika semua tingkah aneh berhenti setelah mencharge baterai, aku akan lega.
Aku tidak akan sanggup bertahan lebih lama kalau dia bertingkah lebih aneh lagi hanya karena tidak kupedulikan sedikit.
"Ahaha....haa. Ngomong-ngomong, kupikir Master….agak sedikit berubah."
"Ah? Benarkah? Aku sendiri tidak yakin…."
"Lihat, Master bersenang-senang kan? Bagaimana rasanya punya teman?"
"Haa? Mereka temanku? Aku hanya merasa didorong  kesana kemari oleh mereka…."
Aku merasa agak aneh mengatakan mereka teman padahal kami baru kenal satu hari.
Tapi memang benar, aku bisa akrab dengan mereka tanpa kesulitan.
Mereka membantu lelaki normal ini dan bahkan mencoba menolongnya. Untuk ukuran anak zaman sekarang, mereka adalah orang orang yang kelewat baik.
“Baguskan, Master? Bahkan Master bisa berteman baik dengan orang-orang yang mendorong-dorong Master~”
Ene memberikan senyuman lembut tapi hambar.
Tanpa kuduga, tiba-tiba aku teringat kembali senyuman lain yang serupa. Senyuman yang telah lama hilang dari hidupku, yang selalu kusimpan jauh di suatu tempat di hatiku.
“Kurasa kau benar.”
Bukannya aku ingin melupakannya. Hanya saja aku memang sengaja menyimpan senyuman itu di suatu tempat.
“Tentu saja aku benar! Ah, ngomong-ngomong aku selalu berpikir apakah aku ini gadis yang kuat. Bagaimana menurut Master? Ah, jangan-jangan Master tertarik padaku?"
“Tidak dan aku memiliki alasan yang kuat. Pertama, memangnya kau masuk dalam kategori ‘GADIS’?”
"EHHH?!!! Master jahat banget!! Bukannya aku ini gadis yang hebat!! Muda dan cantik!! Iya, kaaaan?!"
Menghadapi Ene yang kembali tidak bisa berhenti bicara seperti biasanya, aku berpikir kalau aku harus bergegas kembali dan mengisi baterai untuknya. Aku pun mempercepat langkah kakiku.

0 Comment "Children Record I (Kaki yang Selemah Brokoli)"

Posting Komentar