Children Record II
Children Record II
(Suatu Hipotesis Menuju Kebenaran)
Di dalam ruangan yang menggemakan suara tik-tok dari jam dinding.
Waktu kini hampir menunjukkan jam 9 malam.
Lampu yang tergantung diberbagai penjuru
langit-langit ruangan, menerangi ruangan itu dengan cahaya yang tidak terlalu
menyilaukan namun tidak terlalu redup, menjadikannya tempat yang sempurna untuk
ditinggali.
Di dapur terdapat Kido yang dengan cekatan
sedang mencuci piring bekas makan 6 orang. Tumpukkan piring-piring dengan rapi
tersusun di lemari.
Dari arah seberang sofa tempatku duduk dimana
meja diletakkan diantaranya, Konoha yang baru saja menyelesaikan makanannya
sedang bertarung dengan kelopak matanya agar tidak menutup, dia mengantuk dan
ingin tidur, tapi dia berkata “Jangan, jangan” dan tetap bertarung dengan
kelopak matanya yang kini semakin berontak.
"Nnnnyyaamm…… nggak bisa makan lagi………
ah, gaa bisah maam lajiee………"
Sedangkan disamping kiriku, adik perempuanku
yang menyedihkan meneteskan air liur sambil tertidur lelap dengan wajah yang
bahagia.
.....Tunggu dulu. Apa yang kami lakukan?
Memangnya mereka itu anak-anak apa? Atau mungkin Kido lah yang benar-benar
terlihat seperti ‘ibu’ sekarang?
Yang benar saja, sejak kapan ini menjadi
seperti pesta piyama di rumah teman?
Bahkan sampai pagi ini aku masih menggerutu
dan berpikir ‘Siapa mereka? Sangat mencurigakan’ kepada Mekakushi Dan, tetapi
baru sehari kami bersama aku sudah akrab dengan mereka.
Bahkan diriku yang termasuk tipe sulit untuk
berbicara kepada orang lain dalam periode yang agak lama bisa akrab dengan
mudahnya, mereka benar-benar ramah untuk dikategorikan sebagai orang yang baru
sehari ditemui.
“Dia bahkan makan di dalam mimpinya. Wow, imouto-san
benar-benar hebat....ngomong-ngomong imouto-san langsung tidur setelah makan,
ini artinya apa Master?"
“Abaikan saja dia. Bukankah kalau seperti ini
artinya Momo sama dengan sapi?" Mungkin karena kelelahan, setelah
menyelesaikan makanannya dia langsung tidur.
“Dia bahkan marah saat dipanggil gendut, ada
apa sih dengan anak ini....” Kupikir dia sudah lupa dengan fakta akan dirinya
yang gendut seperti ibu hamil, biarpun dia berkata “Aku bahkan belum menikah,
onii-chan terlalu melebih-lebihkan....” namun kenyataan berkata lain.
“Ah, tidak seburuk itu kok. Mungkin saja dia
terlalu lelah. Hei Kisaragi, bangun. Kalau kau mau tidur pergilah ke kamarku.”
Setelah mencuci piring Kido melepaskan
apronnya yang bertuliskan “技” di depannya—yang membuat terlihat seperti pekerja bangunan dan
berjalan ke arah Momo.
Dia dengan lembut menepuk wajah Momo, tapi
Momo hanya berkata “Ehh~ sepertinya aku masih bisa makaaan…….” dan melanjutkan
makan besarnya dalam mimpi.
“Ah~ maaf. Setelah anak ini tidur dia tidak
akan pernah bangun sampai pagi tiba. Biarkan saja, tidak apa-apa kok.”
“Tapi, ini tidak baik. Yah, tak ada pilihan
lain selain menggendongnya....Hmm!?”
“Mengejutkan....Kisaragi...be-berat....!”
Kido mencoba menggendong Momo, tapi
dibandingkan dengan kemudahannya saat mengangkat Hibiya, kini nafasnya langsung
terengah-engah dalam hitungan detik.
Ngomong-ngomong, aku pernah membaca profil
Momo yang diupload di situs idola, disitu tertulis ‘berat’nya yang membuatku
tidak bisa menahan tawa pada saat itu.
Melihat bagaimana Kido yang dengan susah payah
melangkahkan kakinya seraya menggendong Momo, sekarang Konoha lah yang gantian
mendengkur di sofa.
Pemuda ini benar-benar tidak bisa dipercaya.
Dari wajah tanpa ekspresinya, sangat sulit untuk mengerti apa yang dia
pikirkan.
Dia sekarang ada dirumah orang yang baru saja
dikenal, tapi tidak merasa was-was sama sekali dan dengan tenangnya tidur lelap
seperti itu.
………………….. seperti anak kecil yang tiba-tiba
tumbuh besar.
Melihat perlakuan Hibiya padanya, sepertinya
mereka terlibat suatu ‘insiden’ yang rumit.
Tidak, tidak hanya mereka berdua saja, Ene,
Mekakushi Dan juga, sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada mereka yang sulit
untuk dijelaskan secara gamblang.
Aku agak lupa, tapi saat melihat wajah Ene
tadi aku kembali teringat, kalau mungkin saja ada sesuatu yang terjadi di masa
lalunya juga. Sampai-sampai menyembunyikan identitas aslinya seperti itu, dia
benar-benar hebat dalam melakukannya.
‘Sebelum dia datang kepadaku, apa yang terjadi
padanya?’ Bukannya aku tidak pernah memikirkannya, tapi biarpun menanyakan hal
itu kepadanya dia paling hanya akan mengalihkan topik pembicaraan.
Tiba-tiba saat aku perlahan melihat layar HP,
Ene yang tidak mungkin bisa mengetahui pikiranku barusan, dengan semangat
menyiapkan selimut.
“......Apa yang kau lakukan.”
“Eh? Aku cuma bersiap untuk tidur. Kenapa?”
"Ah, aahh begitu ya."
Terdengar suara pintu yang tertutup, Kido lalu
berkata sambil memutar-mutar bahunya.
“Ngomong-ngomong, akan lebih baik jika
Kisaragi bisa mengurangi nafsu makannya.”
“Haha, maaf ya, sudah banyak merepotkan kalian
hari ini.”
“Tidak, kami juga tidak keberatan kok. Jangan
pikirkan. Tapi hari ini....benar-benar banyak yang terjadi.”
Gerutu Kido sambil mendengus, dan duduk di
sofa berseberangan denganku.
Untuk saat ini yang masih bangun hanya aku,
Kido, dan Ene. Konoha yang sedang tertidur dengan pulas terbaring di sofa
disamping Kido, dengan kedua tangan terlentang.
“Arara, sepertinya 'Nisemono-san' sudah tidur~ nyenyak sekali.”
Ene mengintip dari selimutnya, hanya
menyembulkan wajahnya, dan menggerutu sambil menatap wajah Konoha.
"Erm. Itu nama panggilan untuk pemuda
itu. Terlalu mudah untuk salah memanggil namanya jadi aku memutuskan
memanggilnya seperti itu."
“Ah, soal dia yang sangat mirip dengan temanmu
kan. Ngomong-ngomong, temanmu itu sebenarnya.....”
Saat aku hampir ingin melontarkan
pertanyaanku, Ene langsung melototiku dengan tajam.
“A-ada apa sih...Ah~ Aku tahu, aku tahu.
Asalkan aku tidak menanyakannya kan....?”
Saat aku mengatakan itu Ene tersenyum puas.
“Untunglah Master mengerti. Aku pun masih
kebingungan, tapi saat sudah mengerti semuanya aku akan menjelaskannya pada
Master suatu saat nanti.”
Dan sekarang dia terlihat agak sedih.
Seperti biasa dia menghindarinya, tapi
mendengar kata ‘akan menjelaskan nanti’ dari dirinya, kurasa baru pertama kali
ini ia mengucapkannya.
Tunggu dulu, kalau ini Ene...mungkin dia
mengatakannya cuma untuk main-main.
“Yah, setiap orang memiliki masalah yang tidak
ingin diceritakan. Hei, aku berpikir untuk menanyai orang itu makanya dia aku
bawa kemari, tapi.....”
Kido melihat kesampingnya, Konoha telah
tertidur dengan sangat-sangat lelap. Untuk apa semua pertarungannya melawan
kantuk, kalau pada akhirannya dia tetap kalah. “Haa...” bersamaan dengan helaan
nafas Kido. Konoha akhirnya terjatuh dari sofa ke lantai.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk
sekarang. Yah, sebenarnya kita sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa
sekarang.”
Kido dengan berat bersandar di sofa, melipat
tangannya, dan menyilangkan kakinya.
“Besok...ya. Anak itu, bagaimana keadaannya?”
“Hmm? Ah, maksudmu Hibiya kan? Yang muncul
dimatanya itu, kurasa adalah tanda dari adanya ‘kemampuan’ seperti kami.”
Kido berkata sambil menatap langit-langit.
Rupanya Hibiya masih belum bangun, tapi
sepertinya dia tidak dalam kondisi yang tidak stabil. Seto yang mengerti apa
yang telah terjadi dengan suka rela merawatnya untuk jaga-jaga. Itulah situasi
sekarang.
“Begitukah....yah, karena Seto lah yang
merawatnya, kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Aku tanpa sadar menatap salah satu dari bohlam
lampu di langit-langit bersamaan saat aku mengatakannya, tapi Kido hanya
tertawa dengan pelan.
“Tidak tidak, Seto memang bisa diandalkan
tetapi dia juga punya kelemahan. Mungkin saja dia sedang tidur sekarang.”
Saat pertama kali aku bertemu Seto, dia
memancarkan aura ‘dapat diandalkan’, tapi ada juga sesuatu yang orang seperti
Kido—yang telah mengenalnya lebih lama—ketahui selain itu.
Bukan salahku, aku baru saja bertemu dengannya
pagi ini jadi tidak mungkin aku bisa mengerti dirinya dengan baik.
“Hei, kalian semua itu....”
“Hmm? Apa?”
Kido memperlihatkan wajah bingung dan melihat
ke arahku yang menghentikan perkataannya di tengah-tengah. Tidak apakah aku
menanyakan hal seperti ini? Apakah aku bisa bersikap seperti biasa lagi setelah
menanyakan ini? Bersamaan aku memikirkan itu aku mulai merasa mengantuk, dan
perlahan mulutku terbuka.
“Mata yang kalian punyai itu....sebenarnya aku
tidak tau apakah boleh aku menanyakan ini, tapi....itu sesuatu yang tidak biasa
bukan? Sama juga dengan keadaan Momo. Dia bilang tidak ingat sejak kapan dia
menjadi seperti itu, tapi kurasa ini bukan sesuatu yang tidak ada hubungannya
dengan kalian.”
Menanggapi pertanyaanku yang blak-blakan, Kido
terlihat kebingunan saat masih mendengarkannya tapi setelah aku menyelesaikan
perkataanku dia tersenyum dengan hangat.
“.....Harusnya aku lebih dulu
memberitahukannya kepadamu sebelum pemuda ini. Maaf.”
Kido membungkukkan badannya kedepan dan
merapatkan jarinya sambil meletakkan kedua telapak tangannya dipahanya.
“Eh, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya merasa
perlu mengetahuinya...”
Wajahku tiba-tiba memerah dan mengalihkan
pandanganku.
“Tidak, aku harusnya menjelaskannya
kepadamu....hanya saja seperti yang kau katakan, ini bukan pembicaraan yang
biasa, bukan sesuatu yang dengan mudah bisa kau bicarakan. Karena kemampuan ini
kami pernah dianiaya. Oleh karena itu, demi melindungi diri sendiri kami tidak
bisa menceritakannya begitu saja.”
Bersamaan dengan perkataan Kido, aku sedikit
mengangkat kepalaku.
Dia tidak terlihat sedih, sorot matanya tidak
menyiratkan kegelapan sedikit pun. Yang ada hanya sebuah tekad yang kuat di
dalamnya.
“Y-yah..itu... kalau itu bukan sesuatu yang
tidak seharusnya kuketahui..yah.. ti-tidak apa-apa sih.”
Benar juga. Setelah mengetahui apa yang
terjadi dengan mereka, apa yang bisa kulakukan? Itulah mengapa aku menghentikan
perkataanku di tengah-tengah.
Kenapa aku tertarik untuk mendengarnya?
Apa yang bisa kulakukan?
‘Insiden’ dimana Hibiya terlibat, yang
menurutnya kematian telah terjadi.
Dimana polisi bahkan mungkin tidak bisa memecahkannya.
Kemampuan Hibiya akan terbangun seiring dengan
berjalannya waktu dimana Kido dan yang lain melindungi serta membantunya
menguasai kemampuan itu.
Apakah yang bisa kulakukan?
Tidak apakah menanyakan hal ini?
Jika sekarang aku tidak bertanya, besok pagi
aku hanya akan kembali ke rumah seolah tidak terjadi apa-apa dan kembali dengan
kehidupanku yang semula. Aku diberi kesempatan untuk melakukan pilihan itu.
Benar, ini tidak ada hubungannya denganku. Aku
hanya....
‘Mencoba
untuk lari lagi?’
Pada saat itu punggungku merinding. Hatiku
perih seperti diremas-remas oleh sesuatu dan dahiku perlahan mengeluarkan
keringat dingin.
“Shintaro? Oi, kau tidak apa-apa? Kau
sepertinya pucat.....”
“Ah, ah. Tidak, aku tidak apa-apa. Maaf yah.”
“....begitu ya. Mungkin kau juga terlalu
lelah. Mari lanjutkan ini besok saja, oke?”
Besok, apakah aku masih bisa berada disini?
Ene bahkan berkata “Ayo pulang.” tadi. Mungkin sedikit...tidak, mungkin saja
dia khawatir denganku.
Tapi, tapi........
“....tidak, sedikit saja tidak apa-apa. Tolong
beritahu aku.”
Jika aku kembali ke ruangan itu—dimana aku
memulai hidup sebagai hikikomori—tidak akan ada lagi yang bisa
kulakukan.
Mungkin, mungkin ini karena aku tidak ingin
meninggalkan mereka.
Mungkin aku takut untuk sendirian lagi.
“Aku mengerti. Akan kuceritakan, bagaimana aku
bisa mendapatkan kemampuan ini.”
Kido yang mengerti, tersenyum dan menutup
kelopak matanya sesaat kemudian iris hijaunya berubah warna menjadi merah.
“Kemampuan mata untuk menyembunyikan....Kano
menyebutnya seperti itu, intinya adalah mengurangi hawa keberadaanku dan
sekitarku."
Sambil berbicara Kido mengambil majalah dari
samping meja dan memberikannya kepadaku, lalu majalahnya mulai menghilang
perlahan dari ujungnya, dan pada akhirnya menghilang tanpa ada bekas.
Saat melihatnya, aku kembali mengerti bahwa
kemampuan mereka benar-benar menakjubkan. Pantas saja Kido tidak bisa
mengatakannya dengan blak-blakan.
Kemampuan ini, jika publik mengetahuinya para
pekerja di bidang media massa pasti akan sibuk selama beberapa hari setelahnya.
Pada akhirnya dia akan dibawa ke pusat penelitian atau apalah dan mungkin akan
terjadi sesuatu yang sangat tidak diinginkan.
“Sebelum mendapatkan 'mata ini', aku juga
mempunyai orang tua tapi tidak mempunyai hubungan darah dengan ibuku. Ayahku
kejam, dia adalah playboy yang
perusahaannya bankrut. Sebelum meninggal dia bahkan membakar seluruh rumah.”
“A-apa.....”
Ekstrim sekali mendengarkan masa lalu Kido
hanya dalam beberapa detik. Tetapi Kido tidak terlihat sedih karenanya, dia
hanya menunjukkan ekspresi ‘yah itu pernah terjadi’ dan berbicara dengan tenang
seperti ketika sedang membicarakan masa kanak-kanak yang normal.
“Haha. Cerita yang menyedihkan bukan? Tapi,
pembicaraan sebenarnya dimulai sekarang.”
"Oh, oh………"
“Saat ayahku membakar rumah, aku sekeluarga
berada di dalam rumah. Pada akhirnya aku dan kakakku tidak bisa kabur dari
rumah."
“K-kalian bisa-bisa mati..."
“Ahhm tentu saja aku mati. Sedikit demi
sedikit aku mulai tidak bisa bernapas, bahkan badanku juga terbakar.”
"EEK…………….."
“Lalu pada saat itu aku melihatnya. Dindingnya
berubah dan terpisah, MENJADI SEPERTI MULUT BESAR YANG TERBUKA LEBAR DENGAN
TARING YANG TAJAM.”
"UWAAAHH!!!"
Kido bercerita dengan semangat seperti sedang
menceritakan cerita horor.
Sialnya itu adalah timing yang bagus karena
dia sukses membuatku takut.
Dan ditakut-takuti oleh orang yang pingsan
saat siang bolong di rumah hantu, membuatku merasa diriku sangatlah
menyedihkan.
Tetapi setelah rasa penasaranku kembali, Kido
tidak melanjutkan ceritanya. Dia hanya melipat tangannya dan terlihat senang,
raut wajahnya seolah mengatakan 'bagaimana ceritaku?'.
“Ja-jadi?”
Akhirnya aku bertanya, Kido tidak merubah
posenya dan dengan ceria menjawab.
"Hmm? Selesai."
"HAH?"
Menurut ceritanya, Kido seharusnya sudah
terbakar seluruh tubuhnya, lalu dia hampir dimakan makhluk besar yang
misterius. Tapi gadis di depanku ini sama sekali tidak terlihat pernah terbakar
ataupun ditelan hidup-hidup, aku bahkan tidak bisa menemukan relasi dimana
ceritanya yang mendekati akhir malah ngaco.
“JA-JADI APA HUBUNGANNYA DENGAN KEMAMPUANMU?!”
“Ahh, aku mendapatkannya setelah terbangun
dari puing-puing rumahku. Entah bagaimana luka bakar yang seharusnya ada
menghilang tanpa bekas. Benar-benar tidak dapat dipercaya.”
“La-lalu bagaimana dengan monster itu?”
“Aku hanya melihatnya, ingatanku setelah itu
kosong. Mungkin saja aku benar ditelan. Satu-satunya yang selamat disitu hanya
aku saja, bagaimana caranya aku juga tidak tahu."
Kido mengangkat tangannya dan membuat isyarat
‘aku menyerah soal itu'.
Pada akhirnya biarpun aku mendengarkan seluruh
ceritanya, banyak sekali bagian yang tidak bisa kupahami, dan misteri ini hanya akan bertambah
rumit dari sebelumnya.
“Begitu kah....berarti kamu pun juga tidak
mengetahuinya.”
“Ahh. Tentu saja aku berencana untuk
menyelidiki apapun yang bisa kuselidiki....ini sedang dalam proses. Dulu juga
aku pernah ‘mencoba’ menjelaskannya kepada polisi, tapi mereka tidak percaya
sama sekali.”
Wajar saja, mana ada yang mau mempercayai
cerita yang sepintas terdengar konyol ini.
Aku mengerti, jika insiden Hibiya mirip dengan
Kido dan yang lainya, berarti bukan keputusan yang bijak untuk
memberitahukannya pada polisi.
Kido membawanya kesini dan mengatakan kalau
dia akan membantunya karena Hibiya mirip dengan dirinya yang di masa lalu.
‘Tidak bisa membuat polisi percaya’. Memang
benar itu kenyataan yang sulit ditelan begitu saja.
Ngomong-ngomong, bagian paling aneh di cerita
itu adalah bagian ‘monster mulut besar’ yang menelan Kido. Selain itu meski
ceritanya sangat menyedihkan, tapi itu tidak memiliki hubungan dengan permasalahan
yang sedang kami hadapi. Cuma bagian ‘mulut besar’ itu saja yang bisa
dihubungkan dengan ‘kemampuan aneh’ mereka.
“Bagaimana dengan yang lainnya? Apakah Kano
dan Seto tertelan oleh si ‘mulut besar’ juga?”
“Kano berkata ‘aku juga melihat hal yang sama’,
tapi setelah itu dia kehilangan ingatannya sama sepertiku. Untuk Seto dia
mendapatkan kekuatannya setelah tenggelam di sungai, jadi dia tidak yakin
apakah dia melihatnya atau tidak.”
Saat Kido berkata ‘tenggelam’, aku tiba-tiba
kembali mengingat kenangan masa remajaku yang samar bagai tertutup kabut.
Kenangan yang terkadang aku ingat kembali, tetapi setelah mendengarkan cerita
Kido ingatan itu menjadi tertutupi oleh perasaan yang lebih menyesakkan dari
sebelumnya.
“....Momo menjadi seperti ini, mungkin saja
setelah dia tenggelam di laut.”
“Maksudmu Kisaragi?”
“Ahh, benar.....tapi kuharap kamu tidak
mengatakan ini di depan Momo. Pada saat itu....bahkan ayahku yang mencoba
menyelamatkannya....”
Pada waktu itu, ayahku yang mencoba
menyelamatkan Momo telah diperingatkan oleh banyak orang. Tetapi saat ayahku
berenang ketempat Momo, mereka berdua ditelan ombak.
Saat mendapatkan berita itu dari ibuku aku
sedang dalam les tambahan, dan setelah dengan berbagai cara yang dilakukan
untuk mencari tetap saja mereka tidak ditemukan. Pada hari kedua biarpun ayah
tidak pernah ditemukan, Momo ditemukan selamat dipantai.
“Begitu ya...aku mengerti. Ini memang sesuatu
yang lebih baik tidak dibahas di depan Kisaragi.”
“Terima kasih telah mengerti. Hanya saja, aku
kepikiran sesuatu setelah mendengarkan ceritamu.”
Benar, pada bagian dimana Momo tenggelam ada
sesuatu yang mirip dengan cerita Kido.
Momo ditemukan keesokan harinya. Jika mungkin
saja Momo ada dilautan selama kurun waktu tersebut sebelum dia ditemukan...
Jika kita pikirkan itu, mungkin saja...tetapi
apakah manusia bisa bertahan hidup pada situasi seperti itu?
Tidak, tidak mungkin. Hanya keajaiban saja
yang bisa membuatnya terjadi, namun dalam kasus ini jika kata keajaiban
dimasukkan dalam kemungkinan itu akan menjadi tidak masuk akal.
Kenapa aku berkata seperti itu? Karena jika
kita memikirkan ‘mulut besar’ yang Kido sebutkan, maka semua akan jadi jelas.
Pada waktu Kido terbakar, waktu Momo
tenggelam, kedua-duanya tertelan oleh ‘mulut besar'. Bagaimana dengan penjelasan
yang satu ini?
Jika pada waktu itu mereka berdua terperangkap
di dalam situ, lalu setelah dimuntahkan barulah mereka ditemukan.
Memang ini hipotesis yang gila, tapi bukankah
‘kemampuan mata’ Kido dan Momo sudah menjadi bukti kuat untuk hipotesis ini?
“Kemampuan mata kalian itu, jika penyebab
kalian memilikinya adalah si ‘mulut besar’. Mungkin saja Momo juga pernah
ditelan olehnya....tidak, biarpun ini hanya hipotesis gila.”
Ini MEMANG hipotesis yang gila, tapi bahkan
akal sehat pun akan tidak berguna untuk memecahkan kasus ‘kemampuan mata’
mereka.
Jika disuruh mengambil kesimpulan dari semua
yang terjadi pada mereka, aku hanya bisa berpikir kunci dari masalah ini adalah
‘mulut besar’ itu.
Kehidupan masa lalu mereka yang ternyata tidak
sebaik perkiraanku adalah akar dari semua kemampuan yang tidak masuk akal
ini......
“Mhmm, kami semua memang pernah ditelan. Tapi
jika menambahkan apa yang terjadi dengan Momo juga, penyebab kemampuan ini
bangkit sudah pasti ‘itu’. Belum lagi Kano juga berkata dia melihat hal yang
sama, untuk sekarang kita asumsikan saja begitu. Hanya saja.....”
“Hanya saja?”
Seperti memikirkan sesuatu, Kido meletakkan
jempolnya ke ujung bibirnya.
Seperti sedang berusaha memecahkan teka-teki,
dia menatap ke meja untuk beberapa lama.
“Hanya saja ini membuat kami frustasi. Sama
seperti Momo, kami hampir mati bersama ‘seseorang’. Kudengar Kano bersama
ibunya, dan Seto bersama dengan seseorang yang sepertinya temannya. Lalu
jadilah seperti ini."
Kido mengatakan itu sambil menatap meja
seperti masih memikirkan sesuatu.
“Tetapi, yang terselamatkan hanyalah kami.
Sepertinya orang yang bersama kami telah ‘menghilang’ entah bagaimana.”
Setelah mendengarkan Kido, sedikit demi
sedikit aku mulai mengerti.
“Hei, saat rumahmu kebakaran,
keluargamu....apakah tubuh mereka ditemukan?”
“Ahh, mereka ditemukan. Tapi hanya tubuh ayah
dan ibuku. Tubuh kakakku tidak ditemukan. Satu-satunya yang ditemukan hidup
direruntuhan itu hanyalah aku.”
“Itu berarti.....”
Kejadian pada waktu yang sama. Kemampuan mata.
‘Mulut besar’.
Dan menurut Hibiya, dia berkata, “Ada
perempuan yang sangat penting bagiku. Mungkin dia sudah mati. Hanya aku saja
yang selamat jadi aku harus menyelamatkannya juga.” kesimpulan mulai muncul
dari otakku.
“Kalian semua tertelan ‘sesuatu’ bersama
seseorang, dan selanjutnya hanya kalian yang kembali dan mendapatkan
kemampuan....?”
Kido langsung melanjutkan perkataanku seperti
telah mengerti apa yang ingin kukatakan.
“Dan mereka yang bersama dengan kami juga
tertelan tetapi tidak ditemukan sampai sekarang. Jika begitu, kemungkinan besar
mereka masih ditelan didalam situ.”
Kebenaran tidak terduga dan gila ini mungkin
saja hanya kebetulan, tapi ini adalah kesimpulan yang masuk akal. Kemampuan
Momo, menghilangnya ayahku, ‘kebenaran’ yang terungkap. Perlahan, kumpulan
puzzle yang berantakan mulai tersusun rapi.
“Sebenarnya kami pernah memikirkan kemungkinan
itu. ‘Mungkin didalam [Mulut] itu,
orang-orang tercinta kami masih ada di dalamnya’, kami mempercayai itu dan
berusaha keras untuk menemukan kebenarannya. Tetapi, kunci terpenting yaitu
ingatan kami tentang apa yang terjadi di dalam ‘situ’ hilang tanpa bekas.....”
Kido kembali menghembuskan napas dan bersandar
pada sofa. Kehilangan orang tua, keluarga, orang tercinta, dan sekarang hidup
seperti ini, mereka benar-benar melalui masa yang sulit.
Mungkin mereka merasa kesepian karena
kemampuan aneh itu, mereka selalu dianiaya.
Dengan kehidupan seperti itu, aku ingin tau
bagaimana perasaan mereka setelah terus mengalaminya.
Diriku yang tidak bisa membayangkannya—yang
selalu hidup dengan bebas sesuai keinginanku, merasa tidak bisa dibandingkan
dengan mereka.
Memang benar. Diriku yang dengan mudahnya
menyerah dan memilih kesendirian, bagaimana bisa aku mengerti perasaan mereka?
Dan karena mereka mengetahui ‘sesulit’ apa
situasi ini untuk dihadapi sendirian, mereka mengatakan kepada Hibiya yang juga
mengalaminya,“Kami akan membantumu.”
“Yah, kalau begitu untuk sekarang kita
simpulkan saja proses untuk mendapatkan kemampuannya masih tidak diketahui.
Untuk sekarang, sebelum Hibiya bisa mengkontrol kemampuannya kita harus
membantunya. Karena kitalah yang sudah biasa menghadapi masalah yang seperti
ini.”
Kido selesai berkata bersamaan dengan
berubahnya suasana yang tegang menjadi tenang.
“Aku tidak tahu apakah anak perempuan yang
tertelan bersamanya selamat atau tidak, tapi lebih baik kita mencari tahu
sedikit demi sedikit.”
"TUNGGU SEBENTAR!"
Kido baru saja ingin menghentikan
pembicaraannya, tapi pembicaraan ini masih belum berakhir.
Seakan telah yakin—yakin karena jalan yang
akan membimbing kami menuju kebenaran sedikit lagi berada di depan mata.
“Kamu berkata kalau ‘tidak mengingat apapun
yang terjadi disitu’ kan? Kupikir tadi kamu mengatakan kalau ‘semuanya sama’.”
“Ahh,
iya. Memang benar. Kami hanya bisa mengingat satu hal setelah kami terbangun.”
Kido terlihat seperti tidak tau apa yang ingin
kukatakan, dan menjawab dengan suara yang agak ragu.
“Tidak, seharusnya lebih dari itu. Hibiya
bahkan berkata Konoha ‘hanya berdiri disitu dan melihat saja’. Mungkin saja
anak itu.....”
Saat aku mengatakan itu mata Kido terbuka
lebar dan mulai mengerti apa yang kumaksud.
“Dia ingat bukan? Hal yang terjadi saat dia
tertelan di dalam situ.”
Saat aku berhenti berbicara Kido langsung
berdiri dan berjalan ke suatu tempat.
“O-oi, mau kemana? Bukankah anak itu sedang
tidur sekarang!?”
Dan setelah dia mendengarku, Kido tiba-tiba
berhenti dan kembali duduk di sofa.
Mungkin dia menjadi malu dengan tingkahnya
yang tiba-tiba itu, wajah Kido memerah dan menundukkan kepalanya.
Tingkah seperti itu jika dibandingkan dengan
gaya bicaranya tadi membuatku jadi mengingat ‘Ahh, orang ini adalah seorang
perempuan.’ kata-kata yang jika kukatakan dengan terus terang pasti akan
membuatku dihantam seperti Kano.
“Yah kau benar, bahkan aku juga...setelah
bertahun-tahun tidak pernah melihat ayahku, jika aku bertemu dengannya
lagi....”
Apa yang harus kulakukan saat kami bertemu?
Apa yang harus kukatakan?
Melihat anaknya berubah menjadi hikikomori
selama bertahun-tahun lamanya sampai jadi menyedihkan seperti ini. Apakah yang
akan ayahku pikirkan?
"Shintaro?"
“Eh? Ahh, maaf maaf.....kalau begitu kita
lanjutkan besok. Sepertinya Kano tidak pulang-pulang ya.”
Ada berbagai macam jam mulai dari jam burung
sampai jam digital di seluruh tempat di markas. Bahkan di lemari kecil ada
semacam mesin yang meneteskan sejenis carian, mungkin itu juga jam. Semua jam
itu dengan caranya masing-masing menunjukkan pukul 10.30 malam.
“Hmm, yup. Apa yang orang itu lakukan
ya....Tapi ngomong-ngomong hari ini adalah hari yang melelahkan. Banyak hal
yang terjadi dan disini bertambah ramai."
Kido memutar matanya kearah pintu dengan nada
cuek tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa senang dalam kata-katanya.
“Menjadi ‘danchou’ itu, sepertinya melelahkan
yah.”
Saat aku mengatakannya mungkin tanpa sengaja
aku membuatnya malu, wajah Kido menjadi lebih merah dari sebelumnya.
“BE-BERISIK! Jangan memanggilku seperti itu
terus! A-aku akan tidur sekarang, oke!?”
Setelah mengatakan itu, tingkah Kido yang
sebelumnya ceroboh sekarang jadi sangat gelisah sampai-sampai saat dia berdiri
menimbulkan suara nyaring ‘braak’, dan berjalan ke kamarnya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa saat melihat
sosoknya yang sedang berjalan, tapi Kido
tiba-tiba berhenti dan berbalik “Kau bisa menggunakan selimut bersama Konoha,
aku sudah menaruhnya disitu.” lalu menunjuk selimut yang bertumpuk di samping
pintu masuk, kemudian dengan cepat masuk ke kamarnya.
“Ada apa sih dengannya, dasar....”
Tidak peduli se-tomboy dan seserius apapun dia
tetaplah perempuan. Dan perempuan adalah makhluk yang sulit dimengerti maka aku
memutuskan untuk berhenti memikirkannya.
Tidak butuh waktu lama bagi tubuhku untuk
mencapai batasnya dimana rasa kantuk mulai menyerang.
"Hoaam……. Aku lelah sekali……….."
Aku berdiri dari sofa dan seperti yang sudah
kuduga badanku terasa berat saat kucoba berjalan.
Setelah sampai di tempat selimutnya, aku
mengambil dua dari tumpukan paling atas dan kembali ke sofa.
Setelah menyelimuti Konoha yang tertidur di
lantai seperti mayat, aku baru sadar belum menanyakan pada Kido dimana tombol
lampunya.
“Uhm...dimana, tombolnya dimana.”
Kemudian aku mengedarkan pandangan ke seluruh
penjuru ruangan, namun aku tidak kunjung menemukan sesuatu berbentuk persegi
yang menyerupai tombol.
Ahh, ini menyebalkan sekali. Aku benar-benar
ingin tidur sekarang, apa yang harus kulakukan? Jika aku tidur dengan lampu
menyala maka aku akan....
Ditengah kesibukanku mencari tombol lampu, aku
merasakan seseorang bernafas tepat dibelakangku.
Aku berbalik dan terkesiap, disitu berdiri
Mary dengan rambutnya yang berantakan tidak karuan seperti hantu serta memakai
gaun putih yang tebal. Dia melihatku dengan curiga.
“......Apa yang kamu lakukan? Shintaro.”
Jika
Shintaro diberi tatapan intens yang tajam dari seorang gadis maka keringat
dingin akan bercucuran dari tubuhnya
Otakku yang masih dalam masa memproses situasi
ini memberikan penjelasan. Meski aku tidak melakukan hal yang salah namun
seperti penjelasan tadi. Aku mengeluarkan keringat dingin dan menjawab dengan
gugup.
"O-ohh!! MARY!! Tidak ada apa-apa, aku
hanya mencari tombol lampunya, tapi aku tidak bisa menemukannya!"
Setelah aku mengatakan alasanku, Mary kembali
terlihat seperti biasanya dan menunjukkan sasaran panah berbentuk lingkaran
dengan macam warna di dinding.
“Tombolnya ada disitu. Tekan saja tengahnya.”
Aku menghembuskan napas lega dan menekan
bagian tengah dari sasaran panah itu seperti apa yang Mary katakan, dan dengan
suara 'ka-cha!'semua lampu mati.
"AA, AAAAAHH! JANGAN TIBA-TIBA MEMATIKAN
LAMPUNYA!"
Mary yang tiba-tiba berteriak membuatku
terkejut sampai aku bisa merasakan jantungku terpompa sampai keluar dari
mulutku, aku cepat-cepat menyalakan lampunya lagi dan Mary kembali melihatku
dengan tatapan curiga, air mata mulai mengalir dari ujung matanya.
“......Apa yang kamu lakukan?”
“Ti-tidak ada! Aku hanya mencobanya, oke!?
Uhm…… ARGH! Maaf maaf!"
Ahh, ini SANGAT menjengkelkan. Aku sangat
ingin tidur SESEGERA MUNGKIN, dan kenapa hal seperti ini harus terjadi.
“Aku mengerti......”
Mary berbalik arah dan menuju ke kamarnya.
Kenapa Mary terbangun? Aku ingin menanyakannya
tapi dia sudah pergi. Lebih baik aku tidak melakukan hal-hal aneh lagi—meski
menurutku itu tidaklah aneh.
“Se-selamat tidur~”
Aku melambaikan tanganku padanya, setelah
memastikan Mary sudah masuk kamar aku kemudian mematikan lampu.
Haa....kuhembuskan napas dengan berat dan
merebahkan tubuhku di sofa.
Aku berbaring, menyelimuti dirikudan melihat
HP seperti biasanya. Sepertinya Ene masih di dalam selimutnya seperti
sebelumnya.
“Anak yang menjengkelkan.”
Kukatakan tapi tidak ada jawaban darinya.
Aku meletakkan HP di meja dan menutup mataku.
Di kegelapan, hanya ada gema suara AC.
Jika kuingat lagi, meski hanya terjadi dalam
sehari namun bagiku terasa seperti berhari-hari lamanya.
Aku baru saja bertemu dengan anggota Mekakushi
Dan pagi ini....bukan, lebih tepatnya aku bertemu dengan mereka di mall, tapi
mereka adalah orang-orang yang mudah sekali akrab denganku dalam waktu yang
sangat sebentar. Kalau kupikir baik-baik ini baru pertama kalinya hal seperti
ini terjadi.
Diundang ke rumah seorang teman, makan
bersama, menceritakan kisah masing-masing, sambil membicarakan rencana untuk
esok hari.
Hanya memikirkan itu saja, rasanya sudah
seperti berkumpul bersama teman-teman yang normal di hari-hari yang normal
pula.
Biarpun ini agak aneh, aku tidak pernah
berpikir kalau kesempatan seperti ini akan diberikan kepadaku.
......apakah tidak apa-apa seperti ini..?
Maksudku...
Lebih banyak kesenangan yang kutemui, aku
merasa ingatanku tentang 'dia' akan semakin menipis.
Tapi, tapi untuk sekarang saja, hanya untuk
musim panas ini saja, membiarkan diriku mengerti bagaimana rasanya berteman
dengan mereka itu tidak apa, bukan?
Di kegelapan, aku bertanya kepada orang itu,
yang hanya hidup di dalam ingatanku.
~***~
"Hei, Shintaro."
“………..Apa?”
"Kamu telah memiliki banyak
teman, bukankah itu bagus? Apakah kamu bahagia bersama mereka?"
"Tidak mungkin, aku tidak pernah
memikirkan itu.”
"Bohong. Karena hari ini
Shintaro sepertinya sangat senang. Ini pertama kalinya aku melihat Shintaro
tersenyum dengan bahagia."
"Sudah kubilang itu tidak benar. Aku
hanya didorong-dorong oleh mereka. Aku sangat lelah tau."
"Hei, Shintaro. Apakah kamu
mengingatku?"
"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku
mengingatmu."
"Kalau begitu, kenapa tidak
memanggil namaku?"
"eh…….. kenapa tiba-tiba...ada apa?"
"Hei, Shintaro. Kenapa kamu
tidak memanggil namaku?"
"He-HENTIKAN……….. kumohon
hentikan………….."
"Tentu saja……… kamu tidak bisa,
kan? Kamu tidak bisa mengingatku, kan?"
"Cukup………. Hentikan. Tolonglah,
kumohon"
"HEI,
SHINTARO."
~***~
"UAAAAHHHHHHHH!!!!!"
"UWAAAAAAHHH!!??"
Penglihatanku tiba-tiba menjadi terang, kini
yang kulihat adalah pemandangan markas yang sama seperti sebelum aku tidur.
"Ni-ni-ni-nii-chan membuatku takut saja!
Ada apa?!"
Saat menoleh aku melihat Momo yang memandangku
dengan khawatir, tangannya terletak ditombol yang berbentuk sasaran anak panah.
"Ahh, ternyata kau. Tidak ada apa-apa.
Hanya mimpi buruk."
"Mi-mimpi apa…… wajah nii-chan pucat loh."
Momo dengan khawatir berlari ke arahku dan
menatap wajahku.
"Sudah kubilang tidak apa-apa, kan.
Ngomong-ngomong bagaimana denganmu, ada apa? Kupikir kau sudah tidur."
"Eh? Tidak apa-apa, aku cuma terbangun
saja kok…….. jadi kupikir mungkin lebih baik aku cek kondisi anak itu atau
apalah~ yah begitulah."
Momo tertawa dengan sikap seperti ingin minta
maaf telah membangunkanku.
"……begitu toh. Tapi aku tidak terbangun
karenamu jadi kau tidak perlu khawatir."
"Uum! Tapi kita banyak melakukan
aktifitas seharian ini, nii-chan jadi kelelahan kan? Istirahatlah dengan tenang,
oke?"
"Iya…… ahh, ngomong-ngomong."
Aku berkata sambil berdiri dari sofa dan
menatap langsung Momo yang wajahnya memerah.
"Ada apa……? Ada masalah apa
nii-chan……."
"Kenapa. Kau. Melakukan. Ini?"
Menanggapi pertanyaanku, Momo terlihat gelisah
dan ketakutan.
"E-eehhh………aku tidak mengerti apa yang
dimaksud nii-chan………"
Beda jauh denganku yang tidak memindahkan
pandanganku, Momo tidak bisa untuk tidak mengalihkan arah pandangan matanya.
"Jika Momo tertidur biarpun kau
menggunakan besi untuk memukulnya dia tidak akan bangun, sehingga untuk
membangunkannya jadi sangat menyusahkan. Dan juga, Momo bertengkar dengan
Hibiya. Kurasa dia tidak akan khawatir kepadanya sampai-sampai dia ingin
mengeceknya. Tambah lagi….."
Saat aku mengatakannya, Momo tidak berkutik. Mungkin
saja karena wajahnya menghadap ke lantai, aku tidak bisa melihat ekspresinya.
"Momo memanggilku ‘onii-chan’,
KANO."
Tiba-tiba sosoknya sedikit memudar dimataku
dan berganti dengan sosok yang sedari tadi sedang menyamar, Kano dengan
seringai andalannya menatapku.
"…tepat sekali~ kau benar-benar menarik,
Shintaro-kun. Fantastik!"
"Terima kasih. Sekarang beritahu aku,
kenapa kau sengaja menyamar menjadi Momo di tengah malam seperti ini?"
Seringainya yang seakan tidak akan goyah
menghadapiku, ditunjukkan oleh ekspresinya yang tidak berubah—masih memasang
seringai yang terlihat licik dimataku.
"Haha, sepertinya aku agak dibenci ya.
Tapi tentu saja kau akan marah, karena aku menyamar jadi adik
tercintamu.....kan?"
Kano mengedipkan matanya dengan jahil. Dia pikir
aku ini bodoh apa...
“Bukan itu. Kenapa kau menyamar menjadi orang
lain di rumahMU sendiri? Aku ingin kau memberikanku alasan yang jelas untuk
itu.”
"Mm~ hmm. Tentu saja aku akan melakukan
sesuatu yang menguntungkanku. Tapi, apakah yang akan terjadi jika aku
mengatakan alasannya? Setelah mengetahui alasannya, apakah yang akan
Shintaro-kun lakukan?"
Kano segera membalikkan badannya
membelakangiku, tangannya terbuka ke samping.
“Bukankan ini aneh? Aku hanya akan menjadi
semangat pada saat seperti ini. Mungkinkah aku melupakan sesuatu? Sesuatu yang
PENTING~ saat aku melakukannya."
Kano masih pada posisinya—membuatku tidak bisa
melihat ekspresi seperti apa yang dia perlihatkan.
Namun kata-katanya itu seakan mendeskripsikan
diriku, kata-kata yang bagaikan sebuah tangan raksasa yang kemudian meremas
hatiku tanpa ampun.
“........apa yang ingin kau katakan?”
"Hmm~? Oh tidak tidak, aku hanya
mengumpamakannya. Shintaro-kun, wajahmu mengatakan bahwa kau telah melupakan
sesuatu lho."
Tiba-tiba lampu yang diatas Kano berkedip.
Setiap kedipan lampu bagaikan kilat yang
menyambar dan memberikan cahaya sesaat—menyinari Kano yang masih
membelakangiku.
“KAU TAHU APA..?!”
"Ah, bingo~ gawat, ini semakin menarik.
Sepertinya kau benar-benar melupakan sesuatu, Shintaro-kun"
Menghadapi sikap Kano, amarahku sudah sampai
ketitik yang siap untuk meledak.
“SUDAH KUKATAKAN AKU TIDAK MELUPAKAN
APA-APA!!!!!!!!”
Bersamaan dengan itu, aku mencengkram pundak
Kano dan memaksanya untuk menatapku. Lampu kian berkedip, bukannya berhenti
malah semakin menjadi-jadi.
Emosi yang selalu kupendam dua tahun ini pun
pecah.. hatiku yang sudah terasa seperti diremas seakan hancur...
"KALAU BEGITU, KENAPA? KENAPA
KAMU TIDAK MENYELAMATKANKU?"
Aku mulai melihat halusinasinya... sosok
bersurai coklat sebahu dengan syal merah yang senantiasa menghiasi lehernya...
Dia muncul dihadapanku, dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya.
"A-AAHH……"
Kakiku mulai bergetar, aku tidak bisa lagi
menopang tubuh ini.
Aku mulai tidak memahami situasi ini, aku mulai
mengumamkan rangkaian kata-kata yang tidak bisa disebut sebagai kalimat.
"Hei. Jawab aku Shintaro. Atau
mungkin, kamu melupakanku?"
Tiba-tiba ia berada dihadapanku dengan senyum
hampa, sehampa iris coklatnya yang menatapku lurus seakan berusaha menyelami
dasar jiwaku.
“Ti-TIDAK......aku......”
Seluruh perasaan yang telah kupendam selama
bertahun-tahun kini mulai tumpah, namun aku tetap saja tidak bisa merangkainya
menjadi kata-kata. Pada akhirnya aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Kali ini dia tidak menungguku. Pada akhirnya
semua seperti hari itu, aku tidak bisa menyampaikan apa yang ada dipikiranku
kepadanya.
"Sudahlah. Selamat tinggal,
Shintaro. Berbahagialah."
Lalu semua lampu di ruangan ini mati, untuk
beberapa saat aku tenggelam dalam kegelapan. Ketika lampunya terang kembali dia
telah menghilang dari hadapanku.
Keseimbanganku tiba-tiba menjadi tidak
stabil—menyebabkan tubuhku rubuh namun berhasil kutahan dengan tanganku yang
gemetaran. Sesuatu dalam diriku seolah-olah telah hancur, air mata perlahan
menetes dari mataku.
Tanpa diberi perintah, perasaan yang telah
kupendam selama ini berhamburan keluar. Entah kenapa badanku sulit untuk
kugerakkan.
....apakah ini hukuman? Hukuman untukku yang
tidak pernah mendengarkan ceritanya ataupun membantunya.
“Maafkan aku......maafkan aku...........”
Kata-kata yang sejak dulu ingin kuucapkan
akhirnya keluar, menggema dalam ruangan yang sunyi ini. Kemudian menghilang tanpa jejak.
0 Comment "Children Record II (Suatu Hipotesis Menuju Kebenaran)"
Posting Komentar