Sambil
menunggu Temanku, aku bersandar pada tembok besi yang kokoh ditempat stasiun.
memakai headphone pada kedua
telingaku, dan mendengar lagu-lagu baru yang sudah kuunduh semalam, rasanya
jiwaku terombang-ambing oleh melodi band ini. Aku memejamkan mataku lalu
berkhayal yang sedang berada dikonser
mereka. Walaupun band ini tergolong tua tapi baru pertama kali aku mendengar
melodi yang seindah ini. Aku mulai memikirkan kenapa band seperti ini cepat
sekali bubar, awal tahun 2020 band ini bubar yang entah vokalisnya hilang
begitu saja.
Setelah perang nuklir usai kami,--para orang-orang miskin
harus bertahan hidup disangkar yang dibuat oleh pemerintah dan orang-orang kaya
tinggal distasiun luar angkasa. Tapi untuk apa berjuang demi mendapatkan tempat
yang nyaman kalau kita semua nantinya akan mati dan semua perjuangan akan
sia-sia. Atau karna orang dewasa selalu ingin yang terbaik. Aku belum mengerti
cara pandang orang dewasa untuk saat ini.
Sama dengan band yang sedang kudengarkan, lagu-lagu
mereka akan sia-sia tanpa adanya vokalis dalam band itu, dan semakin lama band
ini akan bubar dengan sendirinya.
Aku beranjak dari tempat bersandarku dan menghampiri
mesin otomatis, aku mengambil uang receh dan memasukannya kedalam selipan mesin
itu lalu aku memilih jus dan secara seketika jus yang kupilih keluar dari bawah
lobang mesin itu.
Aku mencari tempat duduk kosong yang tengah penuh sesak
orang-orang menunggu kereta tiba, tapi aku dan temanku tidak menaiki kereta,
kami hanya janjian bertemu distasiun. Memandang sekitar untuk mencari tempat
duduk, cukup lama aku berdiri didinding besi itu.
Kuletakkan Handphoneku disaku jaket lalu bejalan kearah
bangku kosong, lalu duduk sembari mendengarkan lagu yang merdu ini.
Beberapa lama aku duduk diam seketika ada tangan yang
menyentuh pundak kiriku, seketika aku menengok kebelakang. Dengan pakaian serba
putih dan rambut hitamnya yang tergurai rapih aku memandangknya dengan wajah
senang. Dia Callysta, temanku.
“Sudah menungu lama
Lisna?” tanyanya dengan harapan aku tidak marah terhadapnya.
“tidak...”jawabku
singkat. “tapi, diSMS katamu ada
urusan penting.” Tanyaku yang lalu berdiri dihadapannya.
“bagaimana kalau
kuceritakan sambil berjalan menyusuri daerah ini?” usulnya.
“Ya, boleh...” aku
melepas headphoneku yang masih menggantung ditelinga lalu menaruhnya didalam
tas yang kubawa.
Hari yang cerah ditambah gurauan temanku itu dari cerita
yang ia jabarkan kepadaku. Sesekali aku tertawa kecil dibuatnya. Aku merasa
berbeda pada daerahku yang kutinggalkan, begitu banyak orang berlalu-lalang.
Mungkin didaerah sini semua orang sedang aktif bekerja atau melakukan sesuatu.
Sedangkan aku, aku hanya seorang pendiam bagi
teman-temanku dan tidak mau berusaha. Walaupun dikatakan begitu sesekali aku berusaha,
karna cuman aku saja yang tau kriteria diriku sendiri.
Tapi bagi Callysta,-temanku, walaupun aku pendiam aku
selalu menjadi pendengar yang baik kalau dia curhat kepadaku.
“Hei, Lisna...” Callysta
menepuk pundakku dan menyadarkanku dari lamunan yang tadikupikirkan, aku memang
suka melamun jika ada hal yang melayang didalam pikiranku.
“Ah...maaf...” mungkin
untuk saat ini aku tidak bisa menjadi pendengar yang baik kepadanya.
“sedang banyak pikiran?”
tanyanya.
“tidak
juga...akhir-akhir ini aku kurang tidur.” Jawabku bohong kepadanya dengan
memalingkan wajah.
“itu tidak baik
lho...apalagi kau kan perempuan, harus menjaga kesehatan...” ucapnya.
“i-iya...akan
kuusahakan..” aku memandang wajah temanku itu.
Aku tidak suka mengungkapkan perasaanku keorang lain,
maka dari itu aku berbohong, bahkan tak jarang aku berbohong.
“Aku mempunyai seorang
kenalan laki-laki didaerah sini. Kau mau berkenalan?” tanya Callysta sambil
melihat rumah yang berada diujung jalan, tidak begitu besar, dan tidak begitu
kecil, dengan satu tiingkat. “mungkin dia sekarang sedang bermain game dirumahnya,.” Lanjutnya.
“ti-tidak usah...a-aku lebih tertarik pada penerbangan kapal
Excel, hari ini...”
“Benarkah?...kalau begitu nanti kita kana kesana...”
“kau tau tempatnya?” tanyaku yang sembari jalan
disampingnya.
“tidak jauh daridaerah sini...” jelas temanku.
Dipersimpangan,
kami berdua berbelok dan mengarah kesebuah kafe kecil, yang hanya terdapat dua
jendela bersar dan ditengahnya pintu masuk. Sesekali aku berjalan sambil
menendang sampah yang berserakan. Callysta yang sadar kalau dia sedang berjalan
cepat untuk memasuki kafe kecil itu.
Aku
berjalan dibelakngnya, entah tiba-tiba saja ia menghampiri kafe itu. Aku hanya
diam saja, tidak menanyakan apapun.
Kami berdua
duduk ditempat pojok yang sedikit terkena hempasan kipas angin, tetapi dekat
dengan jendela besar sehingga terkena sinar matahari . Kami berdua memesan kopi
yang sama. Setelah meminum beberapa teguk aku meletakan cangkirku disamping,
Callysta yang sibuk melihat handphonenya. Aku hanya melihatnya dari tempatku
duduk.
Bukan
uruasnku menanyakan dia sedang ber-SMS-an dengan siapa. Aku hanya duduk dan
sesekali meminum cangkir kopiku.
Aku melihat
kota daerah ini dari balik jendela, matahari yang bersembunyi dibalik awan,
bermandikan warna oranye pada sore hari. Seketika aku memikirkan dan ingin
melihat dunia yang luas dari luar sarang. Tapi apa dayaku yang hanya perempuan
pendiam bagi teman-temanku dan bukan orang yang spesial.
Aku tidak
mau menjadi bahan perhatian didaerahku maupun dikampusku kuliah. Tapi dengan
satu alasan aku menjadi bahan cemooh karna terkadang lalai mengerjakan sesuatu.
Mengingat hal itu didalam kepalaku, sepertinya aku menjadi malu sendiri.
Cangkir
kopi milik Callysta masih terisi penuh, aku memandangnya yang sepertinya senyum
sendiri kelayar handphonenya. Orang yang aktif, baik, mempunyai tubuh bagus.
Menurutku ia sedang SMS-an bersama pacarnya. Aku semakin tidak tau apa
tujuannya mengajakku kemari.
Aku
memandang wajahnya dengan lamunanku. Yang sekarang hanya terdengar detakan
jarum jam sedang menunjukan pukul 3:45. Aku teringat wajah ibuku saat muda yang
sama dengan wajah temanku itu.
Mungkin
sekarang aku tidak harus mengingat wajah orang bodoh itu, yang tega
meninggalkan ankanya hanya demi pekerjaannya. Aku tau senyuman palsu diwajahnya
saat terakhir kita bertemu, aku hanya bersikap dingin kepadanya sesaat dia
kembali kesangkar ini.
“Bodoh...” gumamku kecil yang tiba-tiba keluar dari mulut,
seketika Callysta menengok kearah wajahku yang sedikit bingung.
“ah...maaf ya...membuatmu bosan...” katanya dengan wajah
senyum dan sedikit gelisah.
“a-aahh...tidak...maksudku...bukan kekamu kok.” Jelasku yang
berusuha meluruskan kesalah pahamanku. “aku hanya mengingat hal-hal buruk
kemarin malam...” aku berbohong dengan memalingkan wajah kearah jendela besar
yang berada disamping kiriku.
”benarkah?...” tanya Callysta dengan tatapan lurus kepadaku.
“hal buruk apa yang menimpahmu kemarin?” lanjutnya. Lalu ia meminum kopi yang
kelihatannya sudah tidak panas lagi.
Aku
berbohong kepadanya dengan cerita mengarang, aku tidak tau dia percaya atau
tidak. Untuk sekarang usahaku hanya meyakinkannya. Aku tidak mau orang lain tau
masalahku.Sempat Callysta memandang aneh kepadaku tapi aku berusahan
melanjutkan ceritaku.
Kutaruh
handphoneku diatas meja dan memasang headphone yang kuletakan didalam tas lalu
kupasang dikuping, untuk mendengarkan beberapa lagu.
Aku
menyandarkan tubuhku dikursi yang kududuki. Rasanya aku tidak ingin kuliah esok
pagi. Bersinar terangnya matahari berbanding terbalik dengan nuansa hatiku
sekarang karna memikirkan hal-hal yang terjadi pada dunia ini. Aku ingin
melakukan sesuatu terhadap dunia ini, tapi aku tidak mempunyai kepercayaan
dalam diriku sendiri, maupun orang lain. Aku ingin dipercaya oleh orang lain,
Tidak, lebh
baik aku ingin mempercayai orang lain. Tapi keraguan-keraguan yang berada dalam
pikiranku selalu mengganggu. Ada saja hal keraguan disetiap aku ingin berbicara
jujur.
“Hei, kau ingin melihat keberangkatan Excel?” tanya Callysta
tiba-tiba.
Dengan
seketika aku melirik wajahnya dan melepas Headphoneku yang tengah melamun dari
balik jendela kafe kecil ini.
“Ah...baiklah...”
Aku dan
Callysta meninggalkan tempat kafe kecil dan melangkah menuju tempat penerbangan
Excel. Aku berada disampingnya, sepanjnag jalan aku dan ia tidak berbicara sama
sekali, Callysta yang sibuk menggeser-geser layar handphonenya, dan aku hanya mengikuti
Callysta dari samping yangs sedang menyusuri jalan.
Ternyata
tidak hanya daerahku yang banyak seklai sampah. Mungkin didalam sangkar besar
ini semua daerah mempunyai Volume sampah yang besar. Aku berpikir karna
orang-orang mulai tidak peduli dengan sekitar yang hanya mengandalkan perasaan
baik buat dirinya saja.
Aku
mengamati sekitar rumah-rumah yang berjajaran disamping jalan. Aku melihat
seorang pemuda dengan penampilan biasa saja, memakai kaos hijau muda dengan
lengan panjang sedang melakukan permintaan maaf kepada pemilik rumah. Lalu aku
memalingkan wajahku kearah yang lain setelah melihat pemuda itu melirik
kediriku dengan tatapan serius.
Pemuda itu
tidak terlihat setelah aku melewati beberapa rumah kecil yang bercat sama. Aku
tidak sadar kalau Callysta sudah berada jauh dari tempatku berjalan, karna
memikirkan pemuda menyeramkan tadi.
Setelah
sadar aku tertinggal jauh oleh Callysta,
aku dengan cepat melangkah untuk tetap dibelakng dirinya. Dia mungkin tak
sadar. Seperti biasa ia sedang asik memainkan heanphonenya. Tapi aku tidak mau
memperdulikan hal kecil seperti itu.
Melihat
daun-daun berserakan dijalan, dan sampah kaleng yang menumpuk disudut-sudut
jalan, memang seperti kota mati yang dihuni oleh hantu-hantu.
Hantu-hantu yang tidak memperdulikan pada hantu
yang lainnya dan sekitarnya. Aku mulai berpikir bagaimana orang0orang yang
berada disini dianggapkan sebagai hantu dan orang yang tinggal di spatium
merupakan manusia sungguhan yang dahulunya juga hantu.
Tapi aku tidak ingin disamakan oleh mereka.
Entahlah, aku hanya ingin menjadi diriku sekrang, walaupun dianggap pendiam,
dan tidak mau berusaha.
Kami sampai pada lapangan luas yang sangat sesak oleh
orang-orang yang ingin melihat penerbangan kapal Axcel. Aku dan Callysta berada
pada tengah-tengah kerumunan. Terlihat jelas pesawat terbang yang panjang yang
hampir sama dengan kapal induk. Tapi berbentuk kotak dengan beberapa celah yang
mengeluarkan asap. Bertanda pesawat siap diterbangkan.
Aku
melihat beberapa orang saja yang memasuki pesawat itu dengan memakain baju astronot
putiih pada umumnya, dan perbekalan yang dibawa oleh petugas. Aku terheran
melihat sedikitnya yang menaiki kapal itu, tidak lebih dari 30 orang.
“tahun ini lebih sedikit dari tahun kemarin...” gumam
seseorang dari arah belakangku. Yang sekiranya sedang berbincang dengan
temannya.
“mau bagaimana lagi ‘kan?...anggaran disini sangat sedikit,
dan dana penerbangan sepertinya selalu naik tiap bulan.” Jela teman satunya.
Aku tidak meleihat kebelakang tapi sepertinyamereka berdua orang dewasa dengan
badan besar.
Aku yakin
jika aku menengok kebelakang, dua orang dewasa itu akan melihatku dengan
tatapan sinis. Aku berdiri membantu dan seketika melirik Callysta yang berada
disamping kananku, sepertinya dia tidak mendengar gumaman orang tua tadi.
Kudekatkan
bibirku ketelingan temanku yang tengah melihat pesawat axcel, dan mulai
berbisik.
“Sebenarnya...aku tidak tertarik kesini...” lalu temanku
melihat kearahku dengan wajah biasa saja.
“bukankah kau yang bilang?” tanya dia sambil meletakkan
Handphonenya didalam saku celana. Aku melihat kembali kearah depan melihat
kapal itu, dan terlihat beberapa orang muda sampai lanjut usia sedang memasuki
kapal itu dari arah kanan, hanya ada 22 orang yang menaiki kapal itu, tidak
heran masih ada seorang kakek yang ingin hidup bahagia di Spatium.
Callysta
yang tadinya melihat wajahku sekarang berpaling melihat pesawat itu yang akan diberangkatkan. Sementar aku
memikirkan karangan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.
“aku hanya ingin lebih lama bersamamu...” itulah kata-kata
yang kulontarkan kepada temanku. Lalu temanku Callysta memandangku dengan wajah
berbeda dengan yang tadi, ekspresi aneh diwajahnya yang ditujukan kepadaku.
Mukaku sedikit memerah karna kata-kata yang kuucapkan. Sepertinya aku tidak
pantas mengatakan hal itu.
Wajah
aneh Callysta berubah dengan ekspresi ingin menahan ketawa, lalu aku
memalingkan wajah kearah kiri dengan muka merah.
“bukankah kita selalu bertemu ditempat kuliah?...ahahah...”
Temanku melepaskan tawanya sambil menahan perutnya denga tangan. “kau ini
aneh-aneh saja ya...”
“ah-ahaha...”aku hanya ketawa kecil sebagai jawaban.
Derungan
mesin pesawat itu terdengar jelas oleh sekitar dan menimbulkan asap yang tebal
sampai ketempat kuberdiri, aku menutup mata serta hidungku.
Sorakan
dari orang-orang yang berada dilapangan ini, ada yang teriak senang ada yang
berdoa suapay bisa seperti mereka,.
Apa mereka semua tolol?, aku dan temanku hanya diam melihat pesawat itu terbang
menuju luar nagkasa, sedikit-demi sedikit jariing-jaring pada atas sangkar terbuka.
Aku
memandang wajah Temanku yang kelihatannya dia berpikir sama sepertiku, untuk apa pergi keluar nagkasa?.
Gumpalan
asap dari pesawat itu sedikit-demisedikit menghilang, dan pesawat itu sudah
terbang jauh dari sangkar ini, dan jaring-jaring sangkar mulai menutup.
“hei...ayo kita pergi...” aku mengajak temanku, lalu menarik
lengan bajunya. Dia menahan ajakanku, dan melihat kepesawat itu dengan wajah
mengejutkan, aku sedikit bingung, lalu aku memandang orang sekitar yang
mempunyai ekspresi sama dengan temanku.
Dari
dalam sangkar ini, terhalang sedikit oleh jaring-jaring sangkar. Ada yang
membuatku berdiri membeku. Ada beberapa ledakan timbul dari pesawat itu, dan
terlihat jelas sayap bergerak-gerak yang berusaha menghancurkan pesawat itu
diatas awan.
Ingin
rasanya menelang ludah, sangat susah, seolah ada tangan besar yang sedang
mencekikku.
Dengan
mulut yang moncong kedepan, berkaki empat, mata yang lebar dengan penuh
kebencian, dan sayap yang besar sedang berusaha menghancurkan pesawat itu.
Dengan
seketika aku langsung mengenalinya dari otakku yang sedang membeku. Dia Anomalia yang sudah ber-evolusi.
Aku
menarik napas dalam-dalam, tapi terasa sesak didalam tubuhku, aku ingin lari
tapi darahku seolah membeku, kaki dan otaku tidak bisa sinkornasi untuk saat
ini. Aku melihat bagian pesawat jatuh yang mengarah langsung gerbang depan
sangkar ini. Seketika semua yang berada dilapangan ini menjadi ricuh, melarikan
diri, dan semua orang berlari tak karuan.
Aku dan
Temanku masih membeku ditempat, dan melihat hewan itu menghancurkan badan
pesawat. Ekor dari pesawat itu terhempas dan mengarah tepat lapangan ini. Aku
menarik lengan Callysta dan pergi dari tempat itu.
Banyak
sekali orang yang berlari, aku sangat susah untuk pergi dari tempatku beranjak.
Seketika aku mendengar ledakan yang besar dari atas sangkar, pesawat itu
meledak bersamaan dengan Anomalia.
Dengan cepat aku keluar dari lapangan itu, tapi seketika aku didorong oleh
orang besar dan terjatuh.
Kakiku
terkilir, aku tidak bisa berjalan, maupun berlari. Dengan sigap Temanku menarik
tanganku kepundaknya, dan berjalan perlahan.
“masih ada beberapa detik lagi sampai bagian pesawat itu
mengarah ke jaring-jaring sangkar, jika kita tidak keluar dari lapangan ini, kita
berdua akan terkena imbasnya dari serpihan pesawat itu.” Kata temanku yang
berusaha mempercepat jalannya. Jika saja aku tidak membawa kesini, mungkin
tidak akan susah seperti ini.
Ini
seperti mimpi buruk bagi semua orang yang berada di sangkar ini. Jika kami
berdua selamat dari lapangan ini apa yang kita lakukan selanjutnya. Ituluah
yang kupikirkan.
Aku
berusaha menahan rasa sakit kaki ini, dan membantu Callysta mempercepat
jalannya. Tapi, desakan orang-orang
membuat kami berdua sangat susah beranjak keluar.
Hanya
beberapa meter kami keluar dari lapangan ini. Tetapi ekor pesawat itu sudah
menaberak jaring-jaring.
Tiba-tiba
tangan dari arah belakang menarik tangan kami berdua, dan berjalan lebih cepat
dari sebelumnya. Aku menahan rasa sakit kaki ini, aku tidak boleh mengeluh
sekarang.
Serpihan
dari ekor pesawat itu mengenai beberapa orang dibawahnya, ada berpuluh-puluh
nyawa melayang karna serpihan ekor pesawat itu. Aku, temanku, dan perempuan
berbadan besar selamat dari serpihan itu.
Aku duduk
dipinggir jalan yang ramai oleh orang-orang ricuh berlarian, sambil memegang
kaki kiriku.
“kita tidak boleh berhenti sekarang...” kata perempuan
tomboy yang bebadan besar.
“Apa yang harus lakukan sekarang? Berlari dengan orang-orang
sekitar?” tanya temanku. “tapi sepertinya anomalia sudah masuk kedalam sangkar
ini, akibat tabrakan badan pesawat.” Jelasnya.
“Sepertinya tidak ada jalan lain selain kita bertahan hidup
dari dalam sangkar ini, maupun luar sangkar.” Tiba-tiba perempuan dengan badan
besar itu menarik badanku yang terlihat kecil baginya, dan aku digendong
dibelakang punggunnya.
Callysta
diri dihadapnnya dengan wajah serius kepadaku dan perempuan besar ini. Seolah
siap untuk bertahan hidup didunia yang hampir hancur ini. Aku membalasnya
dengan anggukan kecil.
Tiba-tiba
terdengar jelas Raungan Anomalia dari arah gerbang depan. Aku, Callysta dan
perempuan besar ini, berlari kearah selatan gerbang. Sepertinya perempuan ini
mempunyai suatu rencana. Tapi bukan saatnya aku mempertanyakan hal itu
kepadanya. Aku tidak tau namanya, bahkan karna alasan apa dia menyelamatkan
kami berdua.
Aku sudah
tidak memikirkan bagaimana rumahku nantinya, yang hanya aku pikirkan adalah
bagaimana aku hidup-, tidak, bagaimana kami bertiga hidup diluar sangkar ini.
“Ada beberapa temanku yang sepertinya mempunyai rencana,
untuk saat ini kita hanya perlu mencarinya.” Kata perempuan besar ini yang
sepertinya tau dari keheranan kami berdua. Temanku Callysta hanya mengangguk
kecil.
Tidak
sedikit aku melihat anak kecil menangis dan beberapa orang yang tergeletak
dijalan, mungkin sudah tidak bernyawa karna terdesak dan terinjak-injak oleh
orang-orang.
Sepertinya
perempuan besar ini sudah terbiasa melihat kejadian-kejadian sadis seperti ini,
aku melihat raut mukannya yang tenang. Atau hanya aku saja yang terlihat
gelisah?. Aku merasa malu pada diriku sendiri yang masih menyusahkan orang lain
bahkan orang yang tidak aku kenal.
Aku
melihat raut wajah temanku yang serius dan tatapan lurus kearah depan. Aku
melihat sekeliling yang hanya beberapa menit lalu tenang dan sekrang malah
menjadi neraka, banyak sekali rumah-rumah terbakar.
Didalam
sangkar ini tidak ada tentara maupun polisi untuk menjaga ketentraman selagi
ada kejadian mengerikan ini. Yang sekiranya kami semua angap aman pasti tidak
akan berlangsung lama dan akan menjadi bencana besar.
Beberapa
menit kami bertiga berlari, untuk menuju gerbang selatan. Dari kejauhan aku melihat
lapangan besar dan semua orang berkumpul disitu. Didepan lapangan itu ada satu
kapal besar, kapal Excel. Apa semua orang akan menaiki kapal besar itu?
Temanku,
Callysta hanya berlari dengan pandangan lurus kedepan, sepertinya dia
mempercayai perempuan besar ini. Unutk saat ini, aku juga ingin mempercayai
parempuan ini. Tapi hal-hal negatif selalu menggangguku dan membuatku menjadi
plin-plan.
Tapi
perempuan ini berbelok kearah gerbang bukan kelapangan besar. Aku sedikit
heran, dan sedikit lega karna tidak menaiki kapal besar itu. Akan sia-sia semua
orang menaiki kapal itu, besar kemungkinan peswat itu akan hancur seperti kapal
sebelumnya.
“waktu kita sangat pendek unutk menemukan
temanku disekitar sini.” Kata perempuan yang menggendongku. Aku hanya sedikit
berharap dapat menemukan temannya langsung.
“Anomalia sedikit tertahan karna harus mengurus
orang-orang yang berada jauh dibelakang kita” canda sedikit temanku, lalu ia
sedikit tersenyum dengan pandangan lurus kedepan. Tapi sepertinya dia sudah
kecapekan akibat berlari.
“hhmmm...jika kamu tidak mau menjadi santapan
mereka semua, kau harus berlari lho...”kata perempuan berbadan besar ini.
“jika begitu, aku akan menyurhmu menggendongku.”
Perempuan
ini menjawab dengan ketawa kecil, sepertinya mereka berdua cepat sekali akrab,
atau hanya aku saja yang tidak bisa bergaul dengan mereka.
Aku
masih terheran melihat ada orang-orang yang masih bersembunyi dari balik
jendela rumah. Apa mereka semua pasrah akan keadaan? Kenapa mereka tidak
melarikan diri kelapangan?.
Dari
tempatku berlari, aku melihat dari sela-sela rumah yang terlihat jelas semua
orang yang berada dilapangan mempunyai ekspresi takut yang amat sangat. Mereka
semua sudah didesak oleh anomalia-anomalia. Hanya tinggal menunggu beberapa
detik, monster besar itu akan melahap semua orang yang berada disitu.
Aku,-kami
bertiga berbelok mengarah kegang yang lebih kecil, mungkin supaya tidak
terlihat oleh monster mengerikan itu. Tapi sepertinya jalan pintas untuk menuju
gerbang.
Aku
melihat dari kejauhan orang-orang berkumpul sembari membawa senjata kecil,
pasti mereka semua tau senjata kecil seperti pisau dapur tidak bisa membunuh
monster besar itu. Aku hanya pasrah pada harapan yang langsung menemukan
temannya itu.
Diantara
orang-orang yang memegang senjata ada beberapa anak muda yang kiranya beda tipis
dengan umurku sekarang, aku berharap mereka adalah teman yang dimaksud
perempuan ini.
Dari
kejauah mereka sedang berusaha mengangkat tuas untuk membuka gerbang, aku tidak
tau, mengapa mereka mengangkat tuas itu, apa mereka ingin keluar sangkar ini bersama
orang-orang sekitar? Orang sebanyak itu bukankah akan menimbulkan perhatian
para Anomalia? Tapi sepertinya orang-orang sekitar mereka memandang aneh serta
kebingungan.
Mereka, Kira-kira dua orang laki-laki yang
sedang kesusahan membuka tuas, sepertinya tidak memikirkan orang sekitar yang
memandang mereka.
Kami
sedikit demi sedikit mendekati gerbang, aku melihat wajah perempuan ini yang
sedikit menyeringai, aku jadi sangat yakin dua orang itu temannya. Jantungku
sedikit berdegup kencang akibat dari kejadian ini dan aku harus melakukan apa
setelah pergi keluar gerbang.
Gerbang
berdiameter tinggi dan lebar yang sepertinya hanya bisa muat 40 orang sekali
masuk. Aku melihat dua orang laki-laki dengan pakaian tidak mencolok dan
pakaiannya yang kusut, serta membawa tas pada punggungnya.
Perempuan
besar ini menurunkanku dipinggir dinding secara perlahan lalu membantu temannya
yang sedang berusaha menarik tuas, aku dan temanku callysta hanya menunggu
mereka. Bingung, penasaran, dan takut. Semua itu bersatu pada diriku dan
bercampur aduk.
“Apa kalian bodoh?...membuka gerbang pada saat
seperti ini? Bukankah Anomala akan memasuki gerbang ini?!” gerutu seseorang
dari belakang kami, dan tatapan semua orang yang mempunyai ekspresi marah.
“Entahlah...kita juga akan mati kalau tidak
membuka gerbang ini...”jawab pemuda yang memegang tuas dengan ekspresi
tenang, lalu sedikit tersenyum pada
wajahnya.
Aku
berusaha berdiri disamping callysta, dan memandang wajah temanku. Dengan
cekatan kami berdua menarik tuas itu, aku menahan rasa sakit pada kaki kiriku.
Kami
berhenti seketika setelah mendengar raungan Anomalia yang tepat didepan jauh
pada tempat kami berdiri. Dengan sekuat tenaga kami menarik tuas besar itu, dan
sedikit demi sedikit gerbang terbuka.
Orang-orang
sekitar yang melihat Anomalia dengan penampilan tubuh seperti goria dan ekor
panjang pada tubuhnya serta mulut yang penuh daging manusia, mereka semua lari
ketakutan.
Dari
arah sini deretan rumah-rumah terbakar, dihancurkan oleh monster mengerikan
itu, sepertinya dia belum melihat kami disini.
Bunyi
Gerigi pada tuas besar itu mengangkat perlahan gerbang, tapi itu membuat
perhatian Anomalia pada kami. Tapi kami semua berusaha membuka gerbang itu.
Dengan
langkah besar serta perut buncitnya itu melangkah kearah kami, sesekali dia
memakan orang-orang sekitar yang sedang berlari, itu membantu kami dengan
mengorbankan nyawa manusia.
Kalau
tidak terjadi hal menegangkan seperti ini mungkin aku akan tertawa
terbahak-bahak setelahnya. Degupan jantungku dan monster yang semakin mendekat
dengan kami, membuatku tidak mempunyai tenanga lagi untuk menarik tuas ini.
Tapi
kulihat wajah temanku yang mempunyai ekspresi seperti ingin bertahan hidup
diluar sana membuatku berpikir dua kali.
Gerigi
gerbang itu telah mentok diatas dan gerbang tinggi ini sudah menganga, kami
semua dengan cepat keluar dari sangkar itu dan meninggalkan monster besar. Aku
berlari paling pelan diantara yang lain karna menahan rasa sakit kakiku ini. Sedikit-demi
sedikit pintu gerbang in meutup dengan sendirinya dan semakin cepat menutupnya.
Aku berhasil keluar.
Aku
memandang sekeliling dan berdiam diri sejenak karna yangkulihat benar-benar
nyata, bahwanya kami hidup enah tahun didalam sangkar tanpa tau kehidupan
diluar sedikitpun yang sudah berubah menjadi padang pasir, banyak bangunan tua
yang sudah tertutup oleh pasir.
Unutk
detik ini kami bisa hidup dengan usaha kami. Tiga orang misterius itu berada
didepan kami berdua, dan berbalik badan dengan senyum kecil diwajahnya.
“Aku Kazuhiko kano..”ucapnya dengan menjabarkan
tangannya kepadaku. Aku membalasnya dengan senyuman sedikit.
“aku Lisna Sachelia...ka-kalian boleh manggilku
Lisna..”kataku. “dan ini temanku Callysta..”
“Aku balen..”salah satu laki-laki disamping
kanan kano yang memperkenalkan diri.
“Mungkin agak telat..tapi namaku Angela...”
salah satu perempuan besar yang menyelamatkan kami berdua itu mengenalkan diri.
Aku
hanya membalas dengan senyuman kecil, terkadang aku sedikit gugup memperkenalkan
diriku sendiri, ditambahlagi dengan suasana mencengkamkan.
“Terima kasih untuk sebelumnya menyelamatkan
kami...” ucap temanku dengan badan sedikit membungkuk, melihat itu aku juga
membungkuk bersama dengannya.
“ahh...tidak apa...aku tidak sengaja melihat
kalian sedang kesusahan dan saling meolong teman. Jadi, mungkin dengan sifat
kalian yang saling menolong bisa membantu kami bertiga yang dalam dunia kiamat
seperti ini.” Jelas perempuan besar yang bernama Angela, dan kami berdua
menegakkan tubuh kami kembali.
Sepertinya
aku sudah bisa menebak apa yang mereka rencanakan setelah keluar dari sangkar
ini. Begitu juga Temanku, jadi kami tidak menanyakannya kepada mereka.
Aku
dan temanku mengikuti mereka berjalan tanpa adanya perbekalan khusus yang
kubawa. Hanyalah beberapa roti, heandphone dan headphone yang berada ditasku.
-Diam bukan berarti kita tidak tau apa-apa
melainkan memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya, sedangkan banyak omong
sama saja dengan omong kosong dan tidak bisa memikirkan bagaimana kedepannya.-
-Lisna Sachelia-
0 Comment "Chapter 2: Kehancuran Kastel I"
Posting Komentar