Chapter 3 : Kehancuran Kastel II


Chapter 3 : Kehancuran Kastel ii


            Aku Merangkak keluar dari reruntuhan bangunan yang menindih badan sampai kakiku, Setelah susah payah mengeluarkan kaki kananku yang masih tertindih, aku tidur terlentang yang disampingku banyak sekali orang-orang yang sudah mati mengenaskan, aku memandangnya dengan ekspresi biasa saja. Seperti sudah terbiasa dengan apa yang kulihat sekarang. Aku selamat dari serangan Anomalia yang menghancurkan kapal Axcel dilapangan ini. Aku terlentang dan sembari memikirkan apa yang terjadi saat ini benar-benar nyata. Mungkin orang-orang yang berada di Spatium sedang tertawa bersama keluarga, saudara, bahkan dengan orang yang mereka tidak kenal.

Baju yang kukenakan sudah sangat kusut bekas apa yang terjadi pada diriku ini, lalu aku memaksakan berdiri walaupun badanku masih terasa sakit. Ingin sekali pulang kerumah lalu mengambil beberapa makanan dan beberapa baju.
            Aku sedikit demi sedikit melangkah, aku melihat beberapa bangunan yang sudah hangus dilahap api dan yang masih terbakar, hanya beberapa jam tempat ini menjadi neraka bagi kami yang tinggal disangkar ini. Diantara bangunan yang hampir hangus oleh api, aku melihat beberapa pakaian yang berada didalam rumah.
            Aku menghampiri rumah itu dengan tangan kananku memegang dengkul kaki kananku. Walaupun tidak terasa begitu menyakitkan. Aku sedikit berharap bisa menemukan tas dan beberapa makanan untuk aku berpetualang diluar sangkar sana.
            Seketika hal itu melesat didalam kepalaku, untuk apa aku mati disangkar ini, lebih baik aku mati diluar sana. Mati dalam sangkar ini sama saja dengan orang tolol yang percaya bahwa mereka akan aman dalam sangkar ini selamanya.
            Aku memasuki rumah itu, terlihat gelap dengan sedikitnya cahaya masuk kerumah ini. Banyak sekali barang yang tidak tertata rapih, dipojok yang tidak terkena sinar matahari sama sekali aku melihat dengan samar-samar ada tangga yang menghubungkan kelantai dua. Aku menaiki tangga itu, disalah satu anak tangga aku melihat benda berwarna hitam, perkiraanku benar yang kupegang itu adalah tas, walaupun tidak terlalu besar, aku mengacak-acaknya, dan mengeluarkan semua yang ada didalamnya, yang keluar dari tas itu hanyalah beberapa alat tulis.
Aku tidak butuh seperti itu.
            Kupegang tas itu ditangan kiriku dan menuju lantai dua. Aku mengganti pakaianku dengan pakaian yang tergeletak diatas kasur, aku sedikit bersiaga saat mengganti celana, supaya tidak ada yang mengintip, dengan jendela kamar sudah rusak.
            Disalah satu baju yang kumasukan kedalam tas, aku melihat benda aneh berbentuk panjang berwarna abu-abu tua dan dilindungi seperti kaca, aku tidak tau. Setelah kulihat-lihat benda itu dengan teliti, aku menemukan tombol kecil yang bergambarkan kata “IELC”, kupencet tombol itu lalu seketika warna kaca pelindung itu berubah warna menjadi putih dan terlihat badan seseorang berwarna hitam dan disampingnya bergambar detak jantung, dan  bergambarkan otak. Apa itu otak manusia?
            Aku yang tinggal disangkar ini tidak tau benda yang kupegang ini apa. Kuletakan benda itu diranselku, dan menuju dapur yang sama gelapnya dengan tangga yang kutaiki. Aku berharap ada makanan yang berada didalam laci.
            Aku bersukur menemukan empat bungkus mie, dan beberapa makanan kecilyang tergeletak disamping westafel. Sekarang aku hanya perlu mencari air mineral.
Seketika aku menemukannya didalam kulkas, yang terdapat dua botol air mineral. Lalu aku berdiri didepan kulkas dan memikirkan hal, apa yang kulakukan seperti ini salah?. Belum sempat aku menemukan jawabannya, aku sesegera mungkin harus keluar dari sangkar ini. Aku tidak mau melihat wajah Anomalia yang buruk rupa didalam sangkar ini.
Sengatan matahari langsung dari atas, berpadua debu-debu yang menari-nari didepan mataku, aku mengucek-ucek mataku yang terkena debu. Kupandang daerah sekitar yang hancur oleh Anomalia, Sepertinya hanya aku seorang yang berada disini?.
Aku melihat lubang tidak begitu besar yang langsung menuju dunia luar sana, walaupun begitu, aku harus bersiaga karna Anomalia bisa datang kapan saja.
Berjalan sedikit demi sedikit dan memikirkan beberapa hal, bagaimana dengan teman-temanku.
Bagaimana dengan kano? Apa dia selamat dari kesialan ini, atau dia pergi keluar sangkar.
            Bagaimana dengan Ballen? Apa saat dia mabuk salah satu Anomalia memakannya, dan tidak menyelamatkan diri.
            Bagaimana dengan Callysta, perempuan yang kusuka, dan Angela? Sangat kecil kemungkinan mereka bisa bertema dan saling berkenalan, yang seolah keajaiban yang dibuat.
            Sebelum memikirkan hal itu, ada satu hal yang penting berada didalam kepalaku. Bagaimana aku bermalam pada tempat luas yang tidak berujung dengan sedikit makanan yang kubawa.
            Aku melempar tasku keluar dari lubang itu, dan aku membukukkan badan, sangat susah mengeluarkan badanku dari lubang itu, tidak segampang yang kupikirkan. Setelah aku keluar aku berdiri dan membersihkan diri.
            Betapa mengejutkannya aku melihat keadaan diluar sini, yang terlihat hanyalah segumpalan pasir yang menenggelamkan kota-kota tua, hanya dalam enam tahu, dunia luar sudah menjadi mengerikan ini. Aku jadi ingat, aku ingin pergi kerumah asliku, bukan dalam sangkar itu. Sudah lama aku merindukannya. Tapi, mungkin sekarang rumah kecil itu sudah tertutup pasir.
            Sejauh pandanganku, aku hanya melihat gedung-gedung yang terlihat bagian atasnya saja. Dulunya tempat yang kuinjak ini adalah kota Insera, aku dahulu tinggal dipertengahan kota dengan teman sebayaku, yang sekarang hanyalah sebuah nama dan secarik kenangan kecil deibenakku.
            Tak kusangkan sore hari ini sangat cerah, dan dari kejauhan terlihat matahari yang hampir terbenam. Aku berharap tidak melihat Anomalia sampai besok pagi. Hari ini aku tidak mau berlari-lari dikejar oleh Anomalia. Aku tidak tau sampai berapa lama aku hidup diluar sini.
            Jalan pada pasir yang entah seperti tidak ada ujungnya, aku melihat langit dengan warna Oranye dan menyapu awan yang berjalan sedikit demi sedikit. Disalah satu pasir yang kuinjak, aku menendang sesuatu yang tak asing kulihat sebelumnya, Sebuah logam kecil berwarna Putih dengan gambar kota, dan dibelakangnya tertulis 200. Ya, itu mata uang sebelum perang nuklir terjadi. Betapa beruntungnya aku menemukan benda seperti ini. Lalu kutaruh uang logam itu disaku celanaku dan melanjutkan jalanku.
            Setelah menyadari matahari sudah tidak menyinarkan cahayanya, aku dengan cepat berjalan mencari tempat untuk bermalam, tak jauh dari tempatku berdiri aku menemukan loteng yang hampir tenggelam oleh pasir, dengan cepat aku mengarah pada loteng itu, karna mengenal tempat itu.Tempatku bersekolah dahulu waktu semasa SMA.
            Aku membuka jendela loteng itu dengan sekuat tenaga, dan sedikit-demi sedikit terbuka, aku melompat lalu masuk kedalam, tidak banyak barang disini, dan sepertinya pada tengah malam tidak terlalu gelap Karna cahaya dari rembulan.
            Dugaanku benar masih ada kursi panjang yang terletak dekat tangga turun. Sepertinya sekolah ini tidak banyak berubah. Kutarik kursi itu dan kudekatkan dengan jendela, lalu kuletakan tasku diujung kursi. Dan memeriksa makanan dan beberapa minuman yang kusimpan. Bukan, mungkin lebih tepatnya yang kucuri.
            Ada beberapa mie bungkus, tapi bagaimana memasaknya? Jika aku membuat api disini anomalia akan menghampiri tempatku ini. Sepertinya aku hanya memakan makanan kecil saja untuk malam ini. Tidak apa deh, aku sudah makan saat pagi dan siang hari tadi.
            Malam sudah tiba, aku yang melamun melihat jajaran padang pasir, Seolah tidak ada ujungnya. Yang kulihat dari mataku tiidak ada Anomalia sama sekali didaerah sini. Aku sedikit tenang dan di satu sisi jantungku berdegup kencang.
            Ruangan kecil yang redup oleh cahaya rembulan, benda-benda sekitar semakin terlihat dari tempatku duduk. Aku melihat sekitar, yang didekat kursi panjnag aku melihat lemari dua pintu yang terlihat begitu asing bagiku. Aku yang enggan bergerak dari tempat duduku itu menghampiri lemari.
            Saat dulu aku sekolah disini, aku ingat lemari ini digantikan oleh penyimpanan sepatu yang tidak terpakai. Kubuka lemari itu yang sedikit karat, pada pintu pertama tidak ada isi didalamnya, lalu kubuka pada bagian satunya lagi, aku akui sesaat setelah membuka pintu ini, aku terdiam sementara yang akhirnya aku sadar dilemari itu hanya ada patung tengkorak untuk pelajaran biologi.
            Aku lalu menjauh dari lemari itu sambil berusaha menghilangkan beberapa pikiran negatif pada kepalaku ini. aku duduk di bangku panjang lalu memeriksa alat aneh yang panjang dan berlebelkan IELC itu. Apakah alat ini membutuhkan sinyal? Aku berfikir setelah melihat alat itu tidak menyala lagi, atau aku salah pencet. Betapa gapteknya aku ini.
            Kutaruh alat itu kedalam tas dan aku menemukan sekotak bungkus rokok masih utuh dan bagus didalam tasku, aku tidak menyangkanya. Aku sedikit tersenyum lalu kuletakkan bungkus rokok itu dipergeseran jendela. Sudah lama aku tidak merekok, 3 bulan mungkin aku tidak merokok. Kuperiksa seluruh isi tas dan berharap ada sebuah korek api.
Binggo.
            Aku mendapatkan korek api, aku bersiap, kuambil bungkus rokok itu dan kusimpan disaku baju bersamaan dengan korek api. Lalu kugendong tas, dan dengan cepat aku menuju atap loteng itu dan sedikit bersantai sambil menghisap rokok.
            Bagus sekali pemandangan langit dengan taburan bintang-bintang gemerlap, rasanya aku ingin pergi keluar angkasa, aku ingin tau bagaimana orang-orang disana kalau sedang  bersantai. Kuhisap batang rokok itu sambil tuduran terlentang dan seketika aku melamun sembari memikirkan beberapa hal.
            Aku sangat bersedih jika teman-temanku mati dalam sangkar itu, aku berharap bisa bertemu dengan mereka disuatu tempat. Yah..walaupun kemungkinan itu sangat kecil, apa lagi Callysta dan perempuan yang kusuka. Mungkin tuhan tidak berminat mempertemukan aku dan perempuan kusuka sejak awal . Aku tersenyum kecil memikirkan berapa lama aku akan hidup diluar sangkar ini. dengan makanan yang kubawa sedikit, mungkin tiga hari. Rasanya tidak buruk juga mati dibumi yang sudah hancur ini. Dengan cara apa aku mati nanti...
            Apakah orang-orang yang berada di spatium sedang berdoa dan bersedih jika keluarga, ataupun teman mereka sudah tak ada didunia ini?  Sepertinya jawabannya berbeda-beda. Aku terus memandang langit-langit gelap sambil sesekali menghisap dalam-dalam rokok yang kupegang. Rasanya beda sekali dengan rokok yang kuhisap sejak tiga bulan terakhir, atau memang aku sudah lupa rasanya.
            Tapi rasanya jarang sekali aku menyantai seperti ini, yaahh..walaupun aku dirumah hanya malas-malasan, tapi kali ini aku tidak memikirkan pekerjaanku dan cita-citaku. Apa aku pernah punya cita-cita? Ahahaha...itu sudah lama sekali, terkubur didalam otakku. Sampai sekarang aku belum mencapai cita-citaku itu, sedikitpun belum.
            Dalam lima tahun, baru kali ini aku mengingat cita-citaku. Semua tergantikan saat perang nuklir terjadi. Aku tidak begitu paham, bagaimana tiku-tikus maupun serangga bisa ber-evolusi secepat itu. Mungkin semua orang telah menghilangkan cita-citanya. Mungkin aneh rasanya jika ada orang yang masih memendam cita-citanya.
            Menjadi guru. Ya, itulah cita-citaku saat semasa SD, aku sangat senang melihat guru-guruku mengajar, hingga saat itu, aku berpikir menjadi guru tidak buruk juga. Sekaligus kita bisa mengenal wawasan lebih luas, dan mendidik anak-anak untuk menjadi orang yang lebih baik.
            Sesekali aku mengingat masa kecilku yang biasa saja, tanpa terasa rokok yang kuhisap sudah bagian busanya. Kuhisap sekali lagi lalu membunagnya kebawah. Kuhentikan tangan kananku saat ingin mengambil batang rokok yang kedua.
Malam ini cukup satu saja.
            Aku berdiri diatas loteng itu sembari meregangkan tubuhku, dan sesekali menguap. Aku memandang sekitar gurun ini, melihat dari kejauhan walaupun gelap tapi tetap jelas dimataku, Aku melihat akhir dari padang gurun ini. kupikir seisi bumi ini sudah ditelan padang pasir. Terlihat gedung-gedung yang hancur, seperti kota tua yang ditinggalkan.
            Aku tersadar apakah ada Anomalia disekitarku. Aneh, tidak ada sedikitpun dari pandanganku Anomalia.  Sejak tadi sore sampai sekarang, aku tidak melihat satupun monster mengerikan itu. Tapi seketika aku tau jawabannya, dan membuktikannya esok pagi.
Untuk sekarang aku akan tidur.
            Lalu aku mengambil tas yang berada disisi kakiku, dan melompat dari tempatku beranjak, jaraknya tidak begitu jauh, lagipula pasir disini sangat lembut. Sebelum aku memasuki ruangan loteng aku mematikan sisa rokokku tadi. Aku tidak tau Anomalia itu bangun.
            Untuk sekarang aku berusaha tidur dan bangun dipagi hari petang. Seharusnya aku memasang Alarm pada Hpku, tapi sekarang tidak bisa. Layar Hpku retak dan tidak terlihat apapun karna tertindih batu besar.
            Kusisipkan tasku diantara kepala untuk menjadi bantal, lalu kututup jendela walau tidak sepenuhnya tertutup, untuk angin masuk. Aku tidak bisa tidur kalau sedang kegerahan. Hanya beberapa menit aku sudah terlelap tidur, kupikir aku susah tidur.

Dunia yang menyilaukan
            Disudut-sudut perkotaan yang penuh sesak oleh bangunan-bangunan besar, Kantor, hotel, maupun Mall. Sebuah bangunan kecil yang dihampit oleh gedung dengan tingkat tinggi. Terdapat Anak-anak yang berusia 6-11 tahun sedang duduk rapih mendengarkan omongan orang dewasa yang dihadapan mereka sedang memegang buku. Bangunan kecil yang hanya mempunyai satu tingkat dan jarang sekali terkena kilauan matahari. Meskipun begitu anak-anak itu bahagia mendengarkan orang yang berada dihadapan mereka sembari memegang buku. Sokolah yang memungut anak-anak miskin. dengan biaya gratis.
            Tidak ada manusia yang peduli dengan sekolah kecil itu, bahkan gedung disebelah mereka seolah-olah ingin menggusur bangunan kecil itu. Mungkin, dengan harapan kecil guru yang sedang mengajar ingin mereka menjadi orang-orang tidak biasa saat dewasa nanti. Tapi, adapun anak-anak berandal yang suka sekali nongkrong didepan halaman rumah kecil itu dan sering sekali menjahili anak-anak saat mereka dibebaskan pulang.
            Ada beberapa anak kecil diantara yang lain tidak memiliki rumah, sehingga dia yang tidak mempunyai rumah menginap disekolah kecil itu. Hanya ada satu guru yang mengajar. Tinggi, selalu memakai baju dengan warna baju mencolok, dan rambut hitam yang tergurai sampai dada. Anak-anak itu memanggilnya Bu Irina. Bu guru itupun menginap dibangunan kecil karna tidak mempunyai rumah yang untuk dia seorang, Ditambah pembiayaan sewa tanah sedang melunjak naik. Entah dengan cara apa bu guru itu bisa bertahan hidup, untuk sampai saat ini.
            Suatu hari dengan panas terik matahari memasuki perkotaan, ditambah lagi polusi dari kendaraan yang sangat banyak. Bu guru itu memasuki kelas yang kecil dengan senyuman diwajahnya, dan diikuti seorang murid laki-laki yang kiranya usianya 10-tahun. Saat bu guru itu memasuki kelas, semua murid didalam tersentak diam, dan sedikit kaget serta senang karna bu guru itu membawa murid baru laki-laki.
            Seisi kelas teRiak saat anak baru pindah itu memperkenalkan dirinya. Sudah lama semenjak kedatangan murid baru dikelas kecil ini, wajar saja seisi kelas menjadi ricuh dangan perasaan senang.
            Murid baru itu bernama Louis. Anak yang sepantaran dengan usia 7-8 tahun. Lalu guru itu mempersilahkan ia duduk di bangku tengah, ia melihat dikelilingi oleh perempuan yang hampir sama dengan usianya. Sebelum ia melangkah duduk, bu guru itu menambahkan sesuat kepada muridnya.
“Harap kalian berteman baik dengannya.” Kata buguru itu sambil memegang kepala anak pindahan, tapi dia menunduk dan terlihat merah diwajahnya. “ia tidak mempunyai rumah, jadi dia akan menginap disekolah ini...Elina, Eliza, dan zael harap berteman baik, dan jangan menjaili dia ya...” lanjutnya yang sekarang menatap tiga anak itu dengan senyuman. Seketika murid pindahan yang bernama Louis itu menatap tiga orang tersebut.
            Elina yang memakai gaaun warna putih cantik, rambut yang disisir rapig menjulang sampai lehernya, tapi dia sedikit pendiam. Eliza dengan watak cantik dengan tatapan tajamnya. Dan Zael yang terlihat seperti lebih tua dari Louis tapi mempunyai hati lembut, itu tertera diwajahnya yang menebarkan senyuman kepada Louis.
            Louis yang memandang ketiga anak itu dengan wajah Senyum. Setelah usai memperkenalkan diri ia duduk dibangku yang sudah disuruh oleh bu guru.
            Bu guru itu mengajarkan beberapa hal kepada anak-anak, dan juga memberikan sebuah kata motivasi. Tentu saja hanya beberapa anak yang bisa menyerap motivasi guru itu. Tidak ada diskriminasi dan tidak memandang umur yang berada dikelas kecil ini, Semua diperlakukan sama baiknya oleh guru Irina.
            Semua isi kelas ini ada 13 orang, 7 orang anak laki-laki dan 6 orang perempuan. Mereka semua bersahabat, tidak adanya bully, ataupun siapa yang tua akan menjadi raja.
            Dengan kesenangan disetiap hari, Setiap anak-anak ini mempunyai tanda tanya besar pada dirinya maupun pada bu Irina. Mungkin tanda tanya itu akan terjawab saat setelah mereka dewasa.
            Bu guru itu menghentikan pelajarannya dan keluar kelas dengan beberapa patah kata, tanda istirahat sudah mulai. Ada anak-anak dikelas yang langsung lari kekoridor bersama temannya, ada yang langsung membuka bekal makanannya, dan beberapa anak mengelilingi anak pindadhan yang bernama Louis. Memang begitulah kehidupan di kelas kecil ini.
            Zael yang pertama menanyakan beberapa hal kepada murid pindaha itu, dan diikuti pertanyaan lain dari murid-murid lain disekelilingnya.
            Terkecuali Elina dan Eliza, mereka berdua hanya terlihat sgelisah dan menatap jalan dari balik jendela kecil. Baru hari pertama disekolah Louis langsung melihat hal-hal sedih menurut dia.
Kenapa mereka tidak diajak bermain?
            Pertanyaan itu yang berada dikepalanya, ingin ia mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutnya, tapi tertahan karena beberapa sebab.
            Sedikit demi sedikit murid-murid yang mengelilinginya mulai berkurang, itu membantu louis mempermudah makan makanan yang ia beli tadi pagi.
“hei, apa kau keberatan jika kutambahkan lauk?” salah satu murid yang berada disampingnya sembari mengangkat beberapa sayuran dari sendoknya.
“Te-terimakasih...” jawab Louis dengan senyuman kecil diwajahnya kepada laki-laki disampingnya. Terkadang ia gagu jika berbicara kepada orang yang baru ia kenal. Tapi laki-laki disampingnya tidak terlalu memperdulikannya, karena bagi dia seseorang yang baru bersosialisasi pasti sedikit gagu dan lama kelamaan akan terbiasa.
“Sepertinya kau juga diajak oleh guru Irina kekelas ini, ‘kan?” tanya murid yang berada disamping louis tadi.
“Y-ya...” jawab louis singkat sembari melihat-lihat sekeliling kelas, seperti sudah hampir bobrok. “apa kalian juga diajak oleh bu Irina?” lanjutnya.
“Bu Irina memang sangat baik.tapi, hanya mereka berdualah yang diajak oleh bu Irina.” Lalu murud laki-laki itu melirik satu orang yang sedang makan tapi wajahnya termenung, dan satunya melirik keluar jendela. Itu Eliina dan Eliza.
            Louis tidak memahami perkataan murid itu, sambil memberikan ekspresi kebingungan, tapi murid laki-laki itu memahami arti dari ekspresi louis.
“mereka berduahal yang diajak oleh bu Irina, sedangkan sisanya termasuk aku, dimasukan oleh orang tua kami, tapi sepertinya orang tua kami tidak terlalu memperdulikan kami. Jadi bagi kami harapan satu-satunya adalah bu Irina saja.”
            Louis yang akhirnya mengerti maksud murid itu. Dia berpikir betapa besar jasanya bu irina walaupun hanya sebagai guru yang dianggap biasa saja oleh orang lain, tapi dianggap sangat hebat bagi murid-murid lain.
            Seketika murid laki-laki itu berdiri dan mengajak Louis keluar kelas untuk bermain bersama anak yang lain. Tapi Louis menolak ajakan temannya itu sembari membersihkan bekal yang ia bawa dan menatuhnya di kolong meja. Lalu murid itu berlari keluar dengan gembira.
            Kelas yang kecil dan tidak terkena sinar matahari itu menjadi sunyi yang hanya terdapat lima orang dikelas. Sesekali Louis mencuri pandangannya kearah perempuan yang bernama Elina dan Eliza. Mereka dati tadi saat Louis masuk tidak berbicara sepatah katapun. Dan mereka berdua juga sepertinya tidak pernah mengobrol satu sama lain.
            Ia seharusnya menayakan kepada temannya itu, apa yang terjadi kepada mereka berdua. Tapi mungkin louis berharap dapat jawaban dari bu irina. Karena ia yang mengajak
mereka berdua.
            Setelah ia melamun beberapa hal, louis baru menyadari bu irina memasuki kelas, tentu saja membawa buku berbeda dengan yang pelajarn sebelumnya. Bu irina memberikan senyum kepada muridnya yang berada dikelas, beberapa murid yang berada diluar kelas memasuki secara bersamaan.
            Suasana kelas kembali tenang yang terdengar suara lentangan bu Irini mengajar bahasa Inggris, semua murid terfokus pada pengajaran guru itu, terkecuali Louis yang terkadang memikirkan hal-hal yang tidak biasa dipikirkan oleh anak seusianya. Sesekali ia melihat Elina, dan Eliza yang dari tadi selalu diam.
            Tentu saja, Elina maupun Eliza tidak pernah menanggapi hal ini serius, mungkin ini adalah sifat dari mereka berdua, dan bu irina juga berpikir seperti itu.
            Louis sudahi pikiran aneh-anehnya itu dan mulai berusaha memahami apa yang dipelajari oleh bu irina untuk saat ini.
            Tidak lama ia tersadar hari sudah sangat siang, tapi bangunan kecil itu hanya terkena cahaya matahari sangat sedikit. Bu Irina mengakhiri pelajarannya dengan sepenggal motivasi pada murid-muridnya, tentu hanya ada beberapa saja yang bisa memahami kata-kata itu, ada beberapa murid yang hanya melamun, dan bu irina itu pergi keluar kelas. Diikuti oleh muridnya.
            Louis yang bersiap-siap memasukan buku-bukunya kedalam tas yang isinya ada beberapa baju ganti, lalu keluar kelas.
            Ia berharap dapat jawaban memuaskan dari bu Irina saat menanyakannya. Tapi yang ia pikirkan sekarang kapan ia menayakannya. Dengan perlahan Louis keluar kelas yang tepat dibelakannya ada Elina, dan Eliza.
            Mereka berdua terlihat murung sesaat Louis melirik berapa kali kebelakang dilorong kelas. Setelah itu ia melihat beberapa pintu yang sepertinya terkunci, mungkin pikir dia itu adlah ruangan buat ia tinggali, dan diujung jalan adalah dapur.
            Louis memasuki pintu ketiga dari arah depan yang kelihatan sedikit sempat dari rumah dahulu dia. Tapi di ruangan itu kosong melompong seolah-olah ruangan itu besar. Louis menaruh tasnya dipinggir pintu masuk dan mengeluarkan beberapa baju lalu diletakannya dibawah tas. Sambil berpikir, mungkin ia menayakan Elina dan Eliza saat sudah makan malam.
            Lalu ia tiduran terlentang dilantai yang bersih tanpa mengenakan seprai atau bantal. Tapi menurutnya itu sudah cukup untuk hidup disini.

uhhh...

                Matahari yang menyilaukan langsung menusuk tubuhku yang dibalut jaket tipis. Aku dengan terpaksa harus bangun, lalu duduk beebrapa menit, dan tersadar ini sudah sangat siang untuk aku berpergian keluar sana. Aku mengintip dari sela-sela jendela yang kubuka sedikit, dan ternyata benar, sudah ada beberapa anomalia yang seolah-olah berjaga.

Apa aku harus pergi saat sore hari?. Mungkin sekarang yang kupikirkan adalah, bagaimana aku bisa bertahan hidup diloteng kecil ini. Mengeluarkan makanan apa tidak ketahuan?. Jika aku menyalakan rokokku yang ada malah ketahuan oleh anomalia.

Setelah kuputuskan, aku pergi dari loteng ini saat sore hari. Dugaanku benar, anomalia tidur saat sore sampai pagi tiba, dan beraktivitas saat pagi sampai sore.

Aku menenangkan diriku untuk merebah di bangku panjang, dan sesaat aku sedikit mengingat mimpiku semalam. Yang sekarang malah memikirkan mimpi itu. Lagi pula memang ada sekolah yang bisa memungut anak-anak miskin, dan siapa Louis itu? Aku bahkan tidak bisa mengingat wajahnya.

Tapi, mimpi itu membuatku lebih sadar betapa mengerikannya dunia jika kita tidak berusaha melawan dunia. Tapi, jika dipikir-pikir guru itu sangat berusaha mendidik murid-muridnya, walaupun guru seperti itu sudah sangat jarang saat belum perang nuklir terjadi. Mungkin aku akan berusaha seperti itu jika tidak ada perang nuklir. Ahahhaha...tapi cocok tidak ya pada diriku yang sering bermalas-malasan...

Kalau dipikir-pikir lagi aku sudah lama tidak bermimpi, saat aku tidur mimpiku selalu hitam putih tidak jelas. Mungkin itu pertanda? Ahahha..jarang didunia ini seperti itu, ditambah dunia yang semakin hancur seperti ini. Aku lalu duduk dubangku panjang dan menutup jendela kotak itu dengan perlahan sampai tidak ada bunyi decitan.

Kalau menunggu sampai sore tiba, pasti sangat bosan. Aku berdiri dan menggendong tas kepunggungku dan berjalan perlahan menuju pintu didepan mataku, aku sudah penasaran apa yang ada didalam ruangan itu. Dahulu tidak ada pintu itu, yang  ada hanyalah dinding yang kotor. Aku dan teman-temanku selalu mencoret-coret dinding itu memakai sepidol berwarna merah dan tidak ada kapoknya dimarahi oleh petugas kebersihan...

Aku memegang gagang pintu itu dan membukanya dengan perlahan. Aku tidak tau pintu ini gampang dibuka, belum sepenuhnya terbuka, ada yang mengganjal dibalik pintu itu sehingga aku berusaha keras mendorongnya. Sangat susah bagiku untuk mendorong, maka dari itu aku melihat kedalam ruangan itu sambil bersusah payah mendorongnya. Tentu saja ruangan itu gelap tidak terlihat apa-apa dimataku. Mungkin sore tiba sudah terlihat. Dengan begitu, kusudahi usahaku itu dan menutup pintu itu dengan perlahan, lalu duduk kembali dikursi panjang.

Ingin sekali membuka makanan kecil pada tasku ini. Perasaan lapar serta takut membutut dipikiranku ini. Ahhh...memikirkan itu membuatku ragi, lebih baik aku tidur sementara. Menurutku, sore tiba tinggal 5 jam lagi jika sekarang jam 11 siang.

Sesaat setelah merenggangkan tubuhku di bangku panjang ini, aku memikirkan jika mimpi itu bisa dilanjutkan. Rasanya mustahil deh dan rasanya susah untuk tidur sekarang.

Seketika aku memikirkan cara tapi tidak tau ini berhasil atau tidak. Aku akan memakan makanan kecil di pojokan yang gelap seolah-olah seorang bocah yang takut dibuli oleh teman sekelasnya, maka dari itu ia makan dipojokan...ahahah...

Aku duduk tepat disebelah lemari besi yang tidak terkena cahaya matahari. Jadi, jika ada Anomalia masuk aku bisa menggunakan kesempatan kecil untuk memasukan makananku kedalam tas. Yang mungkin tidak tercium oleh hidung mereka..

Aku memakan beberapa roti dengan perasaan penuh gelisah dan sedikit berkeringat, seperti anak culun yang hampir ketauan oleh jagoan disekolah...ahahah...rasanya aku menjijikan sekali. Yahh tapi kali ini lebih seram dari jagoan disekolah....

Aku lalu mengambil minum dengan terburu-buru didalam tasku yang setelah kumakan habis rotinya lalu memeriksa beberapa makanan didalam tas ini. Empat bungkus mie, dua roti,-beberapa permen kecil dan tiga makanan kecil lainnya yang sepertinya aku belum pernah lihat. Mungkin selembihnya hari ini aku akan memakan permen seharian. Tidak buruk juga untuk seorang seperti diriku...

Sepertinya kegelisahanku sia-sia karna Anomalia tidak menemukan keberadaanku, atau memang mereka tidak bisa mencium bau makanan?. Tapi, Syukurlah jika dugaanku benar. Aku berdiri dan menggendong tasku dipunggung dan membersihkan keringat dingin yang mengalir didahi sampai leherku, lalu berjalan untuk mengintip apakah ada Anomalia yang sedang dekat dengan loteng ini.

Aku mengintip dari arah samping dan melihat Anomalia sangat dekat dengan loteng ini, sepertinya berjarak 8 meter dari tempatku berasal. Dengan hidung mancung kedepan bersamaan dengan mulutnya yang juga dibaluti kumis-kumis panjang berwarna putih, dan tinggi lebih dari 5 meter. Aku berpikir mana ada manusia jaman sekarang bisa mengalahkan makhluk besar mengerikan ini. Setelah beberapa menit aku memandang sekitar aku lalu duduk dalantai yang berdebu dan bersandar ditembok yang hampir rapuh.

Aku meluruskah kakiku dan menaruh tas disampingku dan perlahan menutup mataku, yang sepertinya aku sudah malas menagmbil permen didalam tas. Mungkin aku akan berpikir dahulu sebelum berpergian keluar sana. Setelah aku melihat makhluk itu aku menjadi berpikir dua kali yang sebelumnya percaya diri.

Jika aku tidak keluar dari loteng ini juga, aku akan mati karna kehabisan makanan. Apa aku akan bertekad untuk pergi keluar saat sore hari?. Jika memang benar anomalia tidur di sore hari sampai malam hari, mereka akan bersembunyi dimana?. Dan mungkin saja menereka sudah tau aku sedang berada disuatu tempat dan dengan sigap mereka memakan tubuhku.

Apa selama 6 tahun ini mereka tidak makan? Lalu, mereka sehari-hari makan apa bisa sampai hidup 6 tahun...pertanyaan-pertanyaan misterius itu melayang-layang didalam otakku. Hal-hal negatif juga mulai bermunculan dikepalaku yang jarang kugunakan ini. Aku juga tidak tau tujuanku sekarang. Jika aku memiliki keberuntungan dan hidup di Stasiun Spatium, mungkin orang-orang disana memandangku dengan dengki. Percuma saja.

Apa masih ada orang hidup didunia yang luas ini dengan monster mengerikan bertebaran dimana-mana. Pikiranku masih labil. Bagaimana orang dewasa bertahan hidup?, sangat bosan pastinya dan sangat melelahkan jika kupikirkan.

Perlahan kesadaranku menurun dan sedikit demi sedikit tubuhku terasa berat digerakan, yah...mungkin aku sudah ingin terlelap tidur. Lalu ubiarkan diriku tertidur. Tapi sepertinya aku harus bangun diantara jam 3-4 sore.

 

 

-Berpikir logis dalam suatu usaha atau sedang melakukan sesuatu bisa merubah pandang anda kepada sekitar-

 -Lisna Sachelia-

0 Comment "Chapter 3 : Kehancuran Kastel II"

Posting Komentar